Rabu, 27 April 2011

Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Nasabah

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1Konsep Kualitas Pelayanan
2.1.1. Kualitas
Persoalan kualitas dalam dunia bisnis kini sepertinya sudah menjadi “harga yang harus dibayar” oleh perusahaan agar ia dapat tetap survive dalam bisnisnya. Menurut American society for Quality Control, kualitas adalah keseluruhan ciri-ciri dan karakteristik-karakteristik dari suatu produk atau jasa dalam kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang telah ditentukan atau bersifat laten (Lupiyoadi, 2001:144). Pendapat lain tentang kualitas, mengemukakan bahwa kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan (Tjiptono, 2000:51). Sedangkan Sunardi memberi batasan kualitas sebagai upaya memuaskan konsumen (Sunardi, 2003:71).
Berdasarkan beberapa definisi diatas, kualitas adalah suatu keseluruhan ciri dan karekteristik yang dimiliki suatu produk/jasa yang dapat memberikan kepuasan konsumen. Walaupun kualitas jasa lebih sulit didefinisikan dan dinilai dari pada kualitas produk, nasabah tetap akan memberikan penilaian terhadap kualitas jasa, dan bank perlu memahami bagaimana sebenarnya pengharapan nasabah sehingga bank dapat merancang jasa yang ditawarkan secara efektif.

2.1.2.Jasa
Secara tegas antara barang dan jasa seringkali susah dilakukan. Hal ini dikarenakan pembelian suatu barang seringkali disertai dengan jasa-jasa tertentu dan juga sebaliknya pembelian suatu jasa seringkali melibatkan barang-barang yang melengkapinya. Tetapi ada perbedaan utama antara barang dan jasa, menurut Lovelock jasa lebih dalam bentuk kinerja, perbuatan atau keterampilan dari suatu usaha.
Sebaliknya menurut (Nirwana, 2004:4) untuk barang lebih menekankan pada suatu bentuk benda, alat atau objek. Jasa atau servise memiliki definisi sebagai suatu barang atau produk yang sifatnya tidak dapat dipegang secara fisik. Tetapi keberadaan jasa tersebut lebih merupakan bentuk manfaat yang dapat dirasakan oleh yang memanfaatkan jasa tersebut.

Terdapat beberapa definisi tentang jasa yang dikemukakan oleh banyak pakar pemasaran. Stanton (1994) mendefinisikan jasa adalah kegiatan yang dapat diidentifikasi secara tersendiri, dan pada prinsipnya tidak dapat diraba secara fisik (intangible) tetapi dapat dipergunakan untuk pemenuhan kebutuhan pelanggan. Keberadaan jasa juga tidak tergantung pada keberadaan benda fisik lainnya, dengan demikian maka jasa dapat berdiri sendiri. Sedangkan Kotler, Philip (1997) mendefinisikan jasa adalah suatu manfaat yang ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak yang lainnya, dan sifat jasa adalah tidak berwujud, serta tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu.
Menurut Sumarni jasa adalah setiap kegiatan atau manfaat yang dapat diberikan oleh satu pihak kepada pihak lainnya yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak pula berakibat pemilikan sesuatu dan produksinya dapat atau tidak dapat dikaitkan dengan suatu produk fisik (Sumarni, 1993:17).
Berdasarkan definisi diatas dapat ditarik kesimpulan jasa atau servise merupakan suatu manfaat kinerja yang dapat dirasakan oleh pemakai jasa dan bersifat intangible.

2.1.3.Karakteristik Jasa
Terdapat 4 karekteristik pokok jasa yang membedakannya dari barang, yaitu :
1.Intangibilty
Jasa bersifat intangible, maksudnya tidak dapat dilihat, dirasa, dicium, didengar atau diraba sebelum dibeli dan dikonsumsi.
2.Inseparability
Barang biasanya diproduksi, kemudian dijual, lalu dikonsumsi. Sedangkan jasa dilain pihak, umumnya dijual terlebih dahulu, baru kemudian diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan.
3.Variability
Jasa bersifat sangat variabel karena merupakan non- standardized output, artinya banyak variasi bentuk, kualitas dan jenis tergantung pada siapa, kapan dan dimana jasa tersebut dihasilkan.
4.Perishability
Jasa merupakan komoditas tidak tahan lama dan tidak dapat disimpan.



2.1.4.Layanan Atau Service
Pelayanan yang baik memungkinkan sebuah perusahaan memperkuat kesetiaan pelanggan dan meningkatkan pangsa pasar (market share), karena itu pelayanan yang baik menjadi penting dalam operasi perusahaan.
Menurut Stanton, service adalah kegiatan yang dapat diidentifikasikan dan tidak berwujud dan merupakan tujuan penting dari suatu rencana transaksi, guna memberikan kepuasan kepada konsumen (Hasibuan, 2005:72).
Kotler, Philip (1997) mengemukakan pelayanan atau service adalah setiap kegiatan atau manfaat yang ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain dan pada dasarnya tidak berwujud dan tidak pula berakibat kepemilikian sesuatu dan produksinya dapat atau tidak dapat dikaitkan dengan suatu produk fisik.

Sedangkan menurut Hasibuan (1996) pelayanan adalah kegiatan pemberian jasa dari satu pihak kepada pihak lainnya. Pelayanan yang baik adalah pelayanan yang dilakukan secara ramah tamah, adil, cepat, tepat, dan etika yang baik sehingga memenuhi kebutuhan dan kepuasan bagi yang menerimanya (Hasibuan, 2005:152).

Pelayanan hakikatnya adalah serangkaian kegiatan, karena ia merupakan proses. Sebagai proses, pelayanan berlangsung secara rutin dan berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan organisasi dalam masyarakat (Moenir, 2002:27).
Berdasarkan beberapa definisi di atas layanan atau service adalah serangkaian kegiatan yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak lain yang tidak berwujud dan bertujuan memberikan kepuasan kepada pihak yang dilayani.
Agar layanan memuaskan kepada orang atau sekelompok orang yang dilayani, maka sipelaku dalam hal ini petugas, harus dapat memenuhi 4 persyaratan pokok yaitu :
a) Tingkah laku yang sopan
b) Cara menyampaikan sesuatu yang berkaitan dengan apa yang seharusnya diterima oleh orang yang bersangkutan
c) Waktu menyampaikan yang tepat
d) Keramahtamahan
(Moenir, 2002:197)

Kualitas Pelayanan
2.2.1. Pengertian Kualitas Pelayanan
Kualitas jasa (service quality) dibangun atas adanya perbandingan 2 faktor utama yaitu persepsi pelanggan atas pelayanan yang nyata mereka terima (perceived service) dengan layanan yang sesungguhnya diharapkan/diinginkan (expected service). Service quality dapat didefinisikan sebagai seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan harapan pelanggan atas layanan yang mereka terima/peroleh (Lupiyoadi, 2001 : 148).
Sedangkan menurut Wayckof (dalam Lovelock, 1988, Tjiptono, 1996 : 59) kualitas jasa pelayanan bank adalah tingkat keunggulan yang diharapkan nasabah dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan nasabah, dengan kata lain ada 2 faktor utama yang mempengaruhi kualitas pelayanan bank yaitu harapan nasabah (Expectation) dan kinerja bank yang dirasakan nasabah (Performance).

Sementara menurut Cronin dan Taylor (1992) kualitas pelayanan bank merupakan kinerja aktual bank yang diberikan kepada nasabahnya. Berdasarkan konsep servqual yang dikemukakan Parasuraman et.al (1988:16), kualitas jasa pelayanan bank pada dasarnya adalah hasil persepsi dalam benak nasabah. Perceived service quality ini terbentuk dalam benak nasabah setelah membandingkan antara kinerja pelayanan bank yang mereka terima dengan yang mereka harapkan ( servqual = service performance – service expectation). Perbandingan antara persepsi dan harapan bisa memunculkan 3 kemungkinan yaitu persepsi lebih besar daripada harapan nasabah, yang berarti nasabah merasa sangat puas dengan kualitas pelayanan yang diberikan bank, persepsi lebih kecil daripada harapan nasabah yang berarti harapan nasabah terhadap kualitas pelayanan bank tidak tercapai. Jika persepsi sama dengan harapan nasabah terhadap kualitas jasa pelayanan bank dapat dikatakan nasabah puas (Sugiarto, 1999:66). Harapan nasabah dapat dijabarkan dalam dimensi kualitas jasa.
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan kualitas jasa layanan dibangun atas perbandingan antara harapan nasabah (Expectation) dan kinerja yang dirasakan nasabah ( Performance).

2.2.2.Dimensi Kualitas Jasa Layanan
SERVQUAL dimensions atau Service Quality Dimensions, merupakan dimensi kualitas jasa dimana setiap jasa yang ditawarkan memiliki beberapa aspek yang dapat dipergunakan untuk mengetahui tingkat kualitasnya.
Menurut Payne dimensi pelayanan jasa dapat terdiri atas unsur:
1.Tangible (bukti langsung)
Dimana kemampuan perusahaan didalam menunjukan eksistensi dirinya, misalnya dalam hal ini gedung, fasilitas teknologi, penampilan karyawannya, an sebagainya lebih menekankan pada bukti secara fisik atau dapat diraba keberadaannya.
2.Reliability (keandalan)
Merupakan kemampuan perusahaan dalam memberikan pelayanan yang sesuai dengan yang dijanjikan kepada pelanggan. Hal ini dapat berupa adanya perbaikan kinerja yang sesuai dengan harapan pelanggan.
3.Responsiveness (daya tanggap)
Daya tanggap yang dimiliki oleh karyawan dan pimpinan perusahaan. Dimana perusahaan harus menunjukkan kemampuannya dalam memberikan pelayanan yang cepat dan tepat kepada pelanggan jika pelanggan sedang memerlukan jasa yang dimaksudkan.
4.Assurance (jaminan dan kepastian)
Hal ini berkaitan dengan pengetahuan dan kemampuan karyawan dalam menumbuhkan rasa kepercayaan dari pelanggannya pada perusahaan. Didalamnya terdapat unsur etika karyawan, kredibilitas karyawan, rasa aman dari pelanggan, dan unsur etika yang dimiliki oleh karyawan.
5.Emphaty (perhatian)
Merupakan pemberian perhatian yang bersifat individu kepada pelanggan dari erusahaan. Hal ini dimaksudkan agar pihak perusahaan dapat memahami lebih auh tentang keinginan dan kebutuhan dari pelanggannya.
(Nirwana,2004:29-30)

Sedangkan dimensi kualitas jasa menurut Parasuraman, dkk (dalam Fitzsimmons dan Fitzsimmons, 1994; Zeithaml dan Bitner, 1996) adalah:
1.Bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi.
2.Keandalan (reliability), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan.
3.Daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap.
4.Jaminan (assurance), mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan.
5.Empati (emphaty), meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pibadi, dan memahami kebutuhan para pelanggan. (Tjiptono, 2004:70)

2.3Kepuasan Nasabah
2.3.1.Pengertian Kepuasan Nasabah
Meskipun Bank Indonesia bukanlah merupakan bank konvensional atau bank yang bergerak dalam bisnis, akan tetapi pelayanan dan kepuasan nasabah merupakan faktor penting dalam meningkatkan kredibilitas.
Berikut definisi beberapa ahli tentang kepuasan pelanggan : Menurut Kotler, kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja/atau hasil yang dia rasakan dibandingkan dengan harapannya (Kotler, Philip 2000:52).
Wilkie (1990) mendefinisikannya sebagai suatu tanggapan emosional pada evaluasi terhadap pengalaman konsumsi suatu produk atau jasa. Engel, et al (1990) menyatakan bahwa kepuasan pelanggan merupakan evaluasi purna beli dimana alternatif yang dipilih sekurang-kurangnya sama atau melampaui harapan pelanggan, sedangkan ketidakpuasan timbul apabila hasil (outcome) tidak memenuhi harapan (Tjiptono, 2001:24).

Jadi kepuasan merupakan fungsi dari kesan kinerja dan harapan. Jika kinerja berada dibawah harapan, pelanggan tidak puas, jika kinerja melebihi harapan, maka pelanggan amat puas atau senang.

2.3.2.Teknik Pengukuran Kepuasan Nasabah
Metode survey merupakan metode yang paling banyak digunakan dalam pengukuran kepuasan pelanggan.
Metode survei kepuasan pelanggan dapat menggunakan pengukuran dengan berbagai cara sebagai berikut :
1.Pengukuran dapat dilakukan secara langsung dengan pertanyaan seperti “Ungkapkan seberapa puas Saudara terhadap pelayanan Bank Indonesia Tasikmalaya pada skala berikut: sangat tidak puas, tidak puas, cukup puas, puas, sangat puas” (directly reported satisfaction).
2.Responden diberi pertanyaan mengenai seberapa besar mereka mengharapkan suatu atribut tertentu dan seberapa besar yang mereka rasakan (derived dissatisfaction).
3.Responden diminta untuk menuliskan masalah-masalah yang mereka hadapi berkaitan dengan penawaran dari perusahaan dan juga diminta untuk menuliskan perbaikan-perbaikan yang mereka sarankan (problem analysis).
4.Responden dapat diminta untuk meranking berbagai elemen dari penawaran berdasarkan derajat pentingnya setiap elemen dan seberapa baik kinerja perusahaan dalam masing-masing elemen (importance/performance ratings). Teknik ini dikenal pula dengan istilah importance-performance analysis (Martilla dan James, 1977, pp. 77-79) (dalam buku Tjiptono, 2001:40-41).



2.3.3.Strategi Penanganan Keluhan
Dalam menangani keluhan dari pelanggan paling tidak ada 4 aspek penting yang harus diperhatikan perusahaan.
Keempat aspek tersebut yaitu :
1.Empati terhadap pelanggan yang marah
2.Kecepatan dalam penanganan keluhan
3.Kewajaran atau keadilan dalam memecahkan permasalah atau keluhan
4.Kemudahan bagi konsumen untuk menghubungi perusahan
(Tjiptono, 2001:44)


Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Nasabah
Untuk mengetahui kualitas pelayanan terhadap kepuasan nasabah, penulis mengemukakan terlebih dahulu pengertian kualitas menurut Kotler, Philip (1997:55) yaitu “Quality is the totality of features and characteristic of a product or service that bear on it’s ability to satisfy or implied need”. Yang artinya bahwa kualitas adalah keistimewaan total dan karakter dari sebuah produk atau kemampuan pelayanan dalam memberikan kepuasan atau memenuhi kebutuhan.
Kotler, Philip (1997:239) juga mengatakan, dalam memasarkan jasa itu kita harus dapat membuat yang tidak nyata (intangible) menjadi nyata (tangible). Sehingga seseorang betul-betul merasakan pelayanan yan gbegitu cepat, begitu nyata dan kalau ada biaya yan gharus dikeluarkan, ia menganggapnya sesuatu yang wajar, Karena pelayanan tersebut sudah dirasakan sebagai suatu yang nyata (tangible), karena kesan yang diberikannya. Kesan ini selanjutnya akan membentuk persepsi nasabah terhadap pelayanan yang diberikan, akhirnya akan tercipta suatu kepuasan yang dirasakan nasabah.

Fredi Rangkuti (2002:20) menyatakan bahwa “Tujuan manajemen pelayanan jasa adalah untuk meningkatkan kualitas tertentu, karena erat kaitannya dengan pelanggan, tingkat ini dihubungkan dengan tingkat kepuasan pelanggan”.
Buchori Alma (2002 : 204) mengemukakan bahwa “Dalam membentuk citra hubungan baik dengan para pelanggan adalah melalui kualitas pelayanan (quality customer service)”.
Dari definisi-definisi diatas, dapat dilihat bahwa apabila kualitas pelayanan dapat dilakukan dengan baik yaitu dengan memperhatikan fasilitas fisik, kehandalan dalam membertikan pelayanan, daya tanggap yan gcepat, jaminan keamanan dan kemudahan komunikasi, maka hubungan baik dengan nasabah akan tercipta dan harapan nasabah akan terpenuhi sesuai dengan yang diinginkanya. Jadi dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan berpengaruh terhadap kepuasan nasabah.

Pengaruh Persepsi Konsumen Terhadap Keputusan Pembelian

yang dijual, dan apa yang mereka berikan pada masyarakat lebih baik daripada pesaingnya. Tanggapan konsumen merupakan sebuah alat penguji untuk sebuah strategi pemasaran perusahaan. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai konsumen harus dimasukkan dalam setiap strategi pemasaran. Data mengenai konsumen dapat membantu perusahaan menentukan pasar dan mengidentifikasi tantangan dan kesempatan, serta memastikan bahwa produknya dapat terus bertahan dalam pasar.
Salah satu ukuran keberhasilan suatu usaha adalah bagaimana persepsi konsumen dapat meningkatan kepercayaan terhadap suatu produk sehingga mereka mempunyai keinginan membeli yang sangat besar terhadap produk tersebut. Hal ini dapat diketahui dengan melakukan penilaian persepsi konsumen. Hasil penilaian dapat diukur dengan membandingakan data yang ada dilapangan. Bagi perusahaan hasil penilaian persepsi konsumen sangat penting peranannya dalam pengambilan keputusan berbagai hal terutama dalam hal ini yaitu tentang keputusan pembelian suatu produk atau barang.
Konsumen secara selektif memilih stimuli mana yang akan diterima dan menjadikan stimuli tersebut sebagai dasar psikologi utama. Penginterpretasian stimuli juga berbeda-beda pada masing-masing individu. Penginterpretasian stimuli juga berbeda-beda pada masing-masing individu. Proses tersebut terjadi sejak konsumen menangkap stimuli tersebut pertama kali. Penilaian oleh konsumen biasanya dipengaruhi oleh pengalaman maupun referensi yang dimiliki konsumen. Sehingga pengalaman sebelumnya berperan sebagai dasar acuan atau pertimbangan. Orang tidak menerima berbagai stimuli yang mereka pilih dari lingkungan sebagai sensasi yang terpisah, tetapi mereka cenderung mengelompokkannya menjadi kelompok-kelompok dan merasakannya sebagai satu keseluruhan. Proses tersebut terjadi sejak konsumen menangkap stimuli tersebut pertama kali.
Persepsi konsumen terhadap suatu produk akan menjadi pertimbangan konsumen dalam menentukan pilihan produk mana yang akan dibeli. Jika persepsi tersebut tinggi maka konsumen akan tertarik dan mengevaluasi masukan-masukan informasi yang mereka dapat mengenai barang tersebut untuk kemudian membelinya. Untuk menghasilkan persepsi yang tepat bagi konsumen, perusahaan hendaknya memperhatikan kriteria evaluasi kualitas produk atau jasa yang ditawarkan dengan cara terus menerus, karena orang akan melupakan banyak hal yang mereka pelajari namun cenderung akan mengingat informasi yang mendukung pandangan dan keyakinan mereka untuk membeli produk tesebut.

2.1.2 Prinsif Dasar Pengelompokan Persepsi
Schiffman dan Kanuk (2004 : 253), ada tiga prinsip paling dasar mengenai pengelompokkan persepsi yaitu:
1. Figur dan Dasar.
Stimuli yang kontras dengan lingkungan akan cenderung lebih diperhatikan. Orang cenderung untuk mengorganisasikan persepsi mereka ke dalam hubungan figur dan dasar. Para pemasang iklan harus merencanakan iklan dengan teliti untuk memastikan agar stimuli yang mereka harapkan mendapat perhatian menjadi diperhatikan, dipandang sebagai figur dan bukan sebagai dasar, karena figur lebih menonjol dari pada dasar. Sehingga jangan sampai latar belakang iklan mengurangi arti produk,yang bisa menyebabkan stimuli tidak bekerja maksimal.
2. Pengelompokkan.
Individu cenderung mengelompokkan stimuli, sehingga stimuli tersebut membentuk gambar atau kesan yang menyatu. Persepsi mengenai stimuli sebagai kelompok-kelompok atau potongan-potongan informasi lebih mempermudah ingatan untuk mengingat kembali. Pengelompokkan dapat digunakan secara menguntungkan oleh para pemasar untuk menyatakan secara tidak langsung arti-arti tertentu yang diinginkan terkait dengan produk mereka. Contoh, sebuah iklan rokok dapat mempertunjukkan seorang pria yang berpenampilan menarik berkumpul dengan teman-temannya dalam suatu pesta yang mewah, sambil menghisap rokok tersebut. Maka keseluruhan suasana yang secara tidak langsung dinyatakan oleh pengelompokkan stimuli menyebabkan konsumen menghubungkan, bahwa menghisap rokok tersebut identik dengan suasana santai dan kesan mewah (prestisius)
3. Penyelesaian.
Kebutuhan akan penyelesaian mempunyai beberapa implikasi menarik bagi para pemasar. Penyajian pesan iklan yang tidak lengkap, “meminta” untuk dilengkapi oleh para konsumen. Dan tindakan melengkapi itu sendiri membantu untuk melibatkan mereka lebih dalam pada pesan itu. Itulah sebabnya banyak pemasang iklan dengan sengaja meminta keikutsertaan penonton pada iklan-iklan mereka. Sehingga orang yang melihat iklan tersebut menjadi penasaran dan tertarik mencoba produk tersebut.

Bagaimana dekatnya interpretasi seseorang atas realitas tergantung pada kejelasan stimuli, pengalaman masa lalu orang yang menerimanya, dan motif serta minatnya pada saat memperoleh persepsi terhadap suatu informasi mengenai produk atau barang yang akan dibeli.

2.1.3 Dimensi Persepsi
Mengacu pada pendapat Assael (2001: 256), dimensi persepsi dibagi menjadi tujuh, yaitu:
1. Kinerja
Melibatkan berbagai karakteristik operasional utama, misalnya karakteristik operasional mobil adalah kecepatan, akselerasi, sistem kemudi dan kenyamanan. Pelanggan mempunyai sikap yang berbeda dalam menilai atribut-atribut kinerja tersebut karena faktor kepentingan pelanggan berbeda satu sama lain.
2. Pelayanan
Mencerminkan kemampuan toko dalam memberikan pelayanan kepada konsumen terkait dengan produk yang dipasarkan. Semakin baik pelayanan yang diberikan toko kepada konsumen, semakin baik pula penilaian konsumen terhadap image toko itu.
3. Ketahanan
Mencerminkan daya tahan produk tersebut, apakah produk tersebut tahan lama atau tidak. Konsumen akan merasa nyaman dalam membeli suatu produk apabila produk tersebut telah benar-benar teruji dan tahan lama.
4. Keandalan
Konsistensi dari kinerja yang dihasilkan suatu produk dari satu pembelian ke pembelian berikutnya. Jika konsumen melakukan pembelian suatu produk, kemudian melakukan pembelian berulang terhadap produk tersebut dan merasakan kepuasan yang sama atas kinerja produk itu, maka produk itu dikatakan mempunyai keandalan.
5. Karakteristik produk
Fitur-fitur yang terdapat pada suatu produk yang dapat membedakannya dari produk pesaingnya, dan fitur tersebut bisa menjadi nilai lebih di mata konsumen. Misalnya, Yamaha Mio memiliki mesin dengan kapitas 115 cc yang tidak dimiliki motor lain, sehingga akan memberikan nilai lebih produk itu bagi konsumen.
6. Kesesuaian dengan spesifikasi
Merupakan pandangan mengenai kualitas proses manufaktur sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan dan teruji. Konsumen akan merasa dibohongi apabila produk yang mereka gunakan tidak sesuai dengan spesifikasi kualitas yang ditawarkan perusahaan, sehingga akan memberikan penilaian yang buruk badi produk tersebut.
7. Hasil
Mengarah pada kualitas yang dirasakan yang melibatkan enam dimensi sebelumnya. Jika perusahaan tidak dapat menghasilkan “hasil akhir” produk yang baik maka kemungkinan produk tersebut tidak akan mempunyai atribut kualitas lain yang penting yang dapat menarik perhatian konsumen.


Persepsi konsumen terhadap suatu produk akan menjadi pertimbangan konsumen dalam menentukan pilihan produk mana yang akan dibeli. Jika persepsi tersebut tinggi maka konsumen akan tertarik untuk membeli produk tersebut. Untuk menghasilkan persepsi yang tepat bagi konsumen, perusahaan hendaknya memperhatikan kriteria evaluasi kualitas produk atau jasa yang ditawarkan. Contoh, dalam membeli rokok, konsumen memperhatikan faktor-faktor seperti rasa, aroma, harga, distribusi produk , iklan serta kemasan.



2.1.4 Proses Persepsi

Menurtu Philip Kotler (2007 : 228) orang dapat memiliki persepsi berbeda atas objek yang sama karena ada tiga proses persepsi yaitu :
1.Perhatian selektif
Pada dasarnya orang akan terlibat banyak rangsangan harian. Sebagian besar rangsangan akan disaring, karena seseorang tidak mungkin dapat menanggapi rangsangan-rangsangan ini. Proses ini disebut perhatian selektif. Rangsangan-rangsangan yang diperhatikan antara lain :
a). Rangsangan yang berhubungan dengan kebutuhannya saat ini.
b). Rangsangan yang mereka antisipasi.
c). Rangsangan dengan deviasi yang besar dibandingkan dengan ukuran rangsangan.
Perhatian selektif membuat pemasar harus bekerja keras untuk menarik perhatian konsumen. Pesan-pesan mereka akan terbuang pada orang-orang yang berada dalam pasar produk tertentu. Bahkan orang-orang yang berada dalam pasar mungkin tidak memperhatikan suatu pesan kecuali jika pesan itu menonjol dibandingkan rangsangan-rangsangan lain di sekitarnya.
2.Distorsi Selektif
Distorsi selektif adalah kecenderungan orang untuk mengubah informasi ke dalam pengertian pribadi dan menginterprestasikan informasi dengan cara yang akan mendukung pra-konsepsi mereka, bukannya yang menentang pra-konsepsi tersebut. Bahkan rangsangan yang telah mendapatkan perhatian konsumen, belum tentu berada di jalur yang diinginkan.
3.Ingatan Selektif
Ingatan selektif menjelaskan mengapa para pemasar menggunakan drama dan pengulangan dalam mengirimkan pesan pada pasar sasaran mereka. Karena orang akan melupakan banyak hal yang mereka pelajari namun cenderung akan mengingat informasi yang mendukung pandangan dan keyakinan mereka.

Kombinasi kedua tipe masukan yang berbeda yaitu dari dalam dan dari luar menghasilkan gambaran yang sangat pribadi dan sangat khusus mengenai berbagai hal. Setiap orang merupakan individu yang unik dengan pengalaman, kebutuhan, keinginan dan harapan yang unik, sehingga persepsi setiap individu juga unik. Hal ini menjelaskan mengapa tidak ada dua orang yang melihat dunia dengan cara yang persis sama.

2.2 Merek
2.2.1 Pengertian Merek
Merek merupakan suatu nama, istilah, simbol, desain atau gabungan dari keempatnya yang mengidentifikasikan suatu produk dan membedakannya dengan produk para pesaing. Merek sebenarnya adalah cerminan dari janji yang diucapkan oleh produsen terhadap konsumen atas kualitas produk yang akan mereka hasilkan. Bahkan lebih jauh lagi, dapat dikatakan bahwa merek adalah gudang penyimpan kepercayaan yang semakin penting peranannya seiring dengan meningkatnya jumlah pilihan yang dihadapi masyarakat. “Konsumen bersedia membayar lebih suatu produk karena merek melekat padanya, yang merupakan jaminan konsistensi kualitas nilai tertentu yang diyakini terkandung di dalamnya” (Kotler, 2007 : 219). Dengan adanya merek, dapat membuat konsumen merasa aman karena adanya jaminan kualitas pada produknya. Perusahaan juga diuntungkan dengan memberi harga premium bagi merek yang terkenal dan dapat memperluas pangsa pasar perusahaan. Jadi yang pertama yang ada dibenak konsumen sebelum melakukan pembelian adalah dengan mengidentifikasi merk dari produk sejak pertama kali mereka mendapatkan informasi mengenai produk tersebut.
Sepeda motor Yamaha Mio merupakan produk mahal, berkualitas mesin tinggi, dan dapat diandalkan, sehingga akan menimbulkan keuntungan fungsional dimana konsumen tidak akan membeli sepeda motor dalam kurun waktu tertentu dan keuntungan emosional dimana konsumen akan merasa dihargai karena menggunakan produk yang mahal dan berkualitas. Yamaha Mio merupakan contoh yang baik mengenai produk yang sukses yang masih terus memperbaiki produknya. Walaupun saat ini banyak produk motor dari perusahaan lain yang menawarkan berbagai jenis produknya dengan keunggulan masing-masing., Yamaha Mio masih tetap mengungguli para pesaingnya. Bahkan, Yamaha sudah memperbarui produk Mio-nya dengan mengeluarkan produk baru, dengan tampilan dan desain body yang lebih sproty.

2.2.2 Tingkatan Merek
Menurut (Kottler,2007:220), merek terbagi atas enam tingkat, yaitu :
1. Atribut
Sebuah merek memiliki beberapa atribut atau ciri khas. Misalnya, mobil Mercedes mempunyai ciri mahal, berkualitas mesin tinggi, dapat diandalkan, dan mempunyai prestise yang tinggi.
2. Keuntungan
Atribut harus dapat memberikan keuntungan, baik dari segi fungsi maupun secara emosional. Atribut “dapat diandalkan” dapat mencerminkan keuntungan fungsional berupa “saya tidak akan membeli mobil lain dalam waktu beberapa tahun kedepan”. Atribut “mahal” mencerminkan keuntungan emosional “mobil ini membuat saya merasa penting dan dihargai”.
3. Nilai
Merek juga mencerminkan sesuatu mengenai nilai produsen. Mobil Mercedes mencerminkan performa yang tinggi, aman, dan mempunyai prestise tinggi.

4. Kebudayaan
Merek mencerminkan beberapa kebudayaan. Mobil Mercedes mencerminkan kebudayaan Jerman : terorganisasi, efisien, dan berkualitas tinggi.
5. Kepribadian
Merek dapat membentuk kepribadian seseorang. Mobil Mercedes mencerminkan gambaran seorang bos (orang), singa yang perkasa (binatang), atau istana yang megah (obyek).

6. Pengguna
Merek mencerminkan tipe konsumen yang membeli atau menggunakan produk. Mercedes biasanya dipakai oleh kaum eksekutif berusia 55 tahun, bukan seorang sekretaris yang berusia 22 tahun.



2.3 Keputusan Pembelian
2.3.1 Pengertian Keputusan Pembelian
Untuk mendapat gambaran mengenai keputusan pembelian, berikut ini akan dikemukakan definisi mengenai keputusan pembelian menurut para ahli.
Menurut Philip Kotler (2007;223) Keputusan Pembelian yaitu : “beberapa tahapan yang dilakukan oleh konsumen sebelum melakukan keputusan pembelian suatu produk”.
Sedangkan Menurut Chapman dan Wahlers (1999: 176) Keputusan Pembelian adalah :
“sebagai keinginan konsumen untuk membeli suatu produk. Konsumen akan memutuskan produk yang akan dibeli berdasarkan persepsi mereka terhadap produk tersebut berkaitan dengan kemampuan produk tersebut dalam memenuhi kebutuhannya’.

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa untuk melakukan suatu keputusan orang akan melalui suatu proses tertentu, demikian pula pada hal keputusan memilih produk atau merek mereka akan melaksanakan proses terlebih dahulu mungkin karena mereka tidak mau menanggung resiko apabila membeli produk tersebut, sehingga mereka akan penuh dengan pertimbangan – pertimbangan.
2.3.2Peran Pembeli
Seorang pemasar perlu mengetahui siapa yang berperan dalam kegiatan pembelian, karena semua itu mengandung implikasi yang akan digunakan untuk merancang produk yang akan diproduksi, penentu pesanan dan penentu anggaran biaya produksi. Beberapa peranan dalam keputusan pembelian menurut Philip Kotler (2007 :225)
1.Initiator
2.Influencer
3.Decider
4.Buyer
5.User

Beberapa peranan dalam keputusan pembelian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.Initiator
Individu yang mempunyai inisiatif pembelian barang tertentu yang mempunyai kebutuhan / keinginan tetapi tidak mempunyai wewenang untuk melakukan sendiri
2.Influencer
Individu yang memepunyai pengaruh keputusan untuk memebeli baik secara sengaja atau tidak segaja.
3.Decider
Individu yang memutuskan membeli atau tidak, apa yang akan dibeli, bagaimana membelinya, kapan dan dimana membelinya.
4.Buyer
Individu yang melakukan transaksi pembelian sesungguhnya.
5.User
Individu yang menggunakan produk atau jasa yang dibeli.


2.3.3 Perilaku Pembelian Pada Konsumen
Ada empat perilaku pembeli seperti yang dikemukakan oleh Henry Assael dan Philip Kotler (1997 : 169) yang membedakan jenis-jenis tersebut berdasarkan tingkat keterlibatan pembeli dan tingkat pembedaan merek. Dari empat jenis tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.Berdasarkan Pada Tingkat Keterlibatan Pembeli
a. Perilaku pembeli yang rumit
Konsumen melalui perilaku pembeli yang rumit pada saat mereka memiliki keterlibatan yang tinggi dalam pembelian dan menyadari adanya perbedaan yang jelas antara merek-merek yang ada. Konsumen akan memiliki keterlibatan yang tinggi dalam membeli bila produk yang diinginkan mahal, tidak sering membeli, beresiko dan amat mencerminkan dirinya. Umunya konsumen tidak mengetahui terlalubanyak mengenai kategori produk yang bersangkutan dan harus belajar mengenai barang tersebut. Pembeli ini akan melalui proses belajar yang ditandai dengan mengembangkan kepercayaan terhadap produk, kemudahan sikap akhirnya membuat pilihan pembeli yang sudah dipikirkan.
b.Perilaku membeli untuk mengurani ketidakcocokan
Kadang-kadang konsumen yang sangat telihat dalam pembelian melihat hanya sedikit perbedaan antara merek-merek yang ada. Keterlibatan yang mendalam disebabkan oleh kenyataan bahwa pembelian itu mahal, tidak sering dilakukan dan beresiko. Dalam kasus ini pembeli melihat-lihat untuk mempelajari apa yang tersedia, tetapi akan membeli cepat karena perbedaan tidak terlihat. Pembeli mungkin akan menanggapi terutama harga yang baik atau kemudahan membeli. Setelah pembelian, pembeli mungkin mengalami ketidakcocokan yang timbul akibat menyadari cirri-ciri tertentu yang mungkin kurang menyenangkan, konsumen akan menjadi dewasa karena lebih banyak informasi yang dapat membenarkan keputusan memebelinya untuk mengurangi ketidakcocokan.
2.Berdasarkan Pada Tingkat Pembedaan Merek
a.Perilaku membeli berdasarkan ketidakcocokan
Banyak produk dibeli dibawah kondisi tingkat keterlibatan yang rendah dan tidak terdapatnya perbedaan yang jelas antara merek-merek yang ada. Konsumen dalam kasus ini tidaklah melalui urutan kepercayaan / sikap / perilaku yang normal. Konsumen tidaklah mencari secara ektensif mengenai informasi merek-merek yang ada, mengevaluasi karakteristiknya dan membuat pertimbangan yang hati-hati mengenai merek mana yang akan dibeli. Konsumen adalah penerima informasi yang positif pada saat mereka melihat iklan. Konsumen tidak membentuk sikap yang kuat terhadap merek tetapi memilihnya berdasarkan kebiasaan. Setelah membeli bahkan mereka mungkin tidak mengevaluasi terhdap merek yang mereka pilih sehingga proses membeli : kepercayaan merek yang dibentuk oleh proses belajar yang pasif diikuti perilaku membeli yang mungkin disertai evaluasi.
b.Perilaku membeli yang mencari keragaman
Situasi membeli ditandai dengan keterlibatan konsumen yang rendah namun terdapat perbedaan merek yang jelas. Konsumen sering terlihat melakukan banyak pergantian merek itu, karena bertujuan mencari keragaman da ketidakpuasan. Pemimpin pasar dan merek-merek minor dalam jenis produk ini memiliki strategi pemasaran yang berbeda. Pemimpin pasar akan berusaha mendorong perilaku pembelian karena kebiasaan dengan mendominasi rak-rak penjualan menghindari kekurangan persedian dan sering mensponsori iklan untuk meningkatkan konsumen.
Perusahaan penantang akan mendorong pencari variasi dengan menawarkan harga yang lebih rendah, kupon gratis dan iklan yang menyajikan untuk mencoba sesuatu hal yang baru


2.3.4Struktur Keputusan Pembelian
Keoputusan pembelian yang diambil oleh pembeli sebenarnya merupakan kumpulan dari sejumlah keputusan yang terorganisir. Menurut Philip Kotler (2000 : 109) setiap keputusan pembelian mempunyai struktur sebanyak tujuh komponen. Komponen – komponen tersebut antara lain :
1.Keputusan tentang jenis produk
2.Keputusan tentang bentuk produk
3.Keputusan tentang merek
4.Keputusan tentang penjualan
5.Keputuasan tentang jumlah produk
6.Keputusan tentang waktu pembelian
7.Keputusan tentang cara pembayaran

Komponen-komponen tesebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.Keputusan tentang jenis produk
Konsumen dapat mengambil keputusan pembelian suatu produk atau menggunakan uangnya untu tujuan lain. Dala hal ini, perusahaan harus memusatkan perhatiannya kepada orang-orang yang berminat membeli suatu produk serta alternative lain yang mereka pertimnbangkan.
2.Keputusan tentang bentuk produk
Konsumen dapat mengambil keputusan pebelian dalam suatu produk. Keputusan tersebut menyangkut pula ukuran, mutu, corak, dan sebagainya. Dalam hal ini, perusahaan harus melakukan riset pemasaran untu mengetahui kesukaan konsumen tentang produk yang bersangkutan agar dapat memaksimalkan daya tarik mereknya.
3.Keputusan tentang merek.
Konsumen harus mengambil keputusan tentang merek mana yang akan dibeli. Setiap merek memiliki perbedaan-perbedaan tersendiri. Dalam hal ini, perusahaan harus mengetahui bagaimana konsumen harus memilih sebuah merek dalam melakukan pembelianny, merek yang sudah dikenal memiliki nama akan memudahkan konsumen dalam mengambil keputusanny.
4.Keputusan tentang penjualnya
Konsumen harus megambil keputusan dimana produk tersebut akan dibeli. Dalam hal ini produsen, pedagang besar dn pengecer harus mengetahui bagaimana konsumen menyukai barang tersebut.
5.Keputusan tentang jumlah produk
Konsumen dapat mengambil keputusan tentang seberapa banyak produk yang akan dibelinya pada suatu saat. Dalam hal ini, perusahaan harus mempersiapkan banyaknya produk sesuai degan keinginan yang berbeda-beda dari para pembeli.
6.Keputusan tentang waktu pembelian
Konsumen dapat mengambil keputusan tentang kapan ia harus melakukan pembelian. Masalah ini menyangkut tesedianya uang untuk membeli produk. Oleh karena itu perusahaan harus dapat mengukur waktu produksi dan kegiatan pemasaran.
7.Keputusan tentang cara pembayaran
Konsumen harus mengambil keputusan tentang metode atau cara pembayaran produk yang akan dibeli, secara tunai atau kredit. Keputusan tersebut akan mempengaruhi keputusan tentang tentang penjual dan jumlah pembelinya. Dalam hal ini, perusahaan harus mengetahui keinginan pembeli terhadap cara pembayarannya.




2.3.5 Tahap – tahap dalam proses Keputusan Pembelian

Adapun tahap-tahap dalam proses keputusan pembelian produk menurut Philip Kotler (2007 ; 235 ) adalah sebagai berikut:
Gambar 2.1
Lima tahap proses Keputusan Pembelian




Kelima tahap di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1). Pengenalan masalah adalah tahap dimana konsumen mengenali adanya suatu
masalah atau kebutuhan
2). Pencarian informasi adalah tahap dimana konumen telah tertarik untuk mencari lebih banyak informasi, dilakukan dengan cara meningkatkan perhatian atau aktif mencari informasi.
3). Evaluasi berbagai alternatif adalah tahap dimana konsumen menggunakan informasi yang telah didapat untuk mengevaluasi merek-merek alternatif.
4). Keputusan pembelian adalah ( dalam hal ini keputusan memilih produk ) adalah tahap dimana konsumen benar-benar melakukan pembelian
5). Perilaku pasca pembelian adalah tindakan lebih lanjut setelah melakukan pembelian berdasarkan keputusan atau ketidakpuasan.


Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa proses pembelian terdiri dari beberapa tahapan yang dengan pengenalan masalah terhdap kebutuhan dan keinginan serta tidak berhenti setelah pembelian dilakukan. Para pemasar telah mendalami berbagai hal yang mempengaruhi pembelian, serta pengembangan suatu pengertian tentang bagaimana konsumen dalam kenyataannya membuat keputusan itu dan bagaimana tipe keputusan membeli konsumen.
2.2.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi Keputusan Pembelian
Untuk melakukan suatu keputusan orang akan melalui suatu proses tertentu, sehingga mereka dapat menentukan pilihan yang sesuai dengan keinginan dan kemampuan mereka untuk membeli suatu produk atau barang.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian menurut Philip Kotler (2007 : 153), adalah
1Faktor Budaya
Faktor budaya memiliki pengaruh yang luas dan mendalam terhadap keputusan pembelian.
2Faktor Sosial
Sebagai tambahan atas faktor budaya, perilaku seorang konsumen dipengaruhi oleh factor-faktor sosial. Antara lain :
a.Kelompok acuan
b.Keluarga
c.Peran
d.Status
3Faktor Pribadi
Keputusan pembelian juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi. Antara lain:
a. Pekerjaan
b. Keadaan ekonomi
c. Gaya hidup
d. Kepribadian dan konsep diri pembeli
4Faktor Psikologis
Pilihan pembelian seseorang dipengaruhi empat faktor psikologi utama. Antara lain:
a.Persepsi
b.Keyakinan dan pendirian

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa para konsumen dalam memilih suatu produk melalui beberapa tahapan proses terlebih dahulu sebelum mereka melakukan pembelian.

2.4 Pengaruh Persepsi Konsumen Terhadap Keputusan Pembelian
Proses keputusan konsumen dalam membeli atau mengkonsumsi produk atau jasa akan dipengaruhi oleh kegiatan oleh pemasar dan lembaga lainnya serta penilain dan persepsi konsumen itu sendiri. Proses keputusan pembelian akan tediri dari pengenalan masalah, pencarian informasi, evaluasi altenatif, pembelian, kepuasan konsumen. Pemahaman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan konsumen akan memberikan pengetahuan kepada pemasar bagaimana menyusun strategi dan komunikasi pemasaran yang lenih baik. Persepsi konsumen akan mempunyai keputusan pembelian dikarenakan orang mempunyai kesukaan dan kebiasaan yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi konsumen terutama didukung oleh kemampuan seseorang untuk mendapatkan suatu barang atau jasa . Menurut Philip Kotler (2007 :153) “keputusan pembelian seseorang dipengaruhi oleh faktor psikologi utama, antara lain persepsi serta keyakinan dan pendirian”.
Berdasarkan uraian diatas maka proses keputusan pembelian konsumen sangat ditentukan oleh faktor psikologi mereka sendiri antara lain persepsi serta keyakinan dan pendirian mereka, kemudian mengidentifikasi masukan-masukan informasi yang mereka peroleh mengenai barang atau produk kemudian mengevaluasinya untuk kemudian melakukan keputusan pembelian.

Pengaruh Biaya Kualitas terhadap Tingkat Pertumbuhan Penjualan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Biaya Kualitas
2.1.1.1 Pengertian Biaya
Dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen akan hasil produksi, perusahaan memerlukan biaya yang harus dikeluarkan berupa biaya langsung maupun tidak langsung, sehingga perusahaan yang menghasilkan produk memerlukan biaya untuk melakukan aktivitasnya. Informasi biaya membantu manajemen dalam menjalankan fungsinya untuk mengelola perusahaan, sehingga biaya yang dikeluarkan perusahaan dapat di efisiensikan untuk mendapatkan laba yang besar. Karena semakin kecilnya biaya yang dikeluarkan maka semakin besar keuntungan yang diperoleh perusahaan, terutama biaya yang berhubungan dengan kualitas produk.
Dalam melakukan aktivitasnya, perusahaan tidak terlepas dari biaya karena biaya merupakan sebuah pengorbanan yang diukur dengan satuan uang yang mesti dikeluarkan untuk mendapatkan barang atau jasa.
Menurut M. Munandar (2001:250) mengemukakan bahwa: “Biaya adalah biaya yang terdiri dari bahan-bahan yang dikerjakan didalam proses produksi, untuk diubah menjadi barang lain yang nantinya akan dijual”.
Biaya dalam arti luas adalah penggunaan sumber-sumber ekonomi yang telah terjadi atau kemungkinan akan terjadi untuk objek atau tujuan tertentu (Mardiasmo, dalam Melaniawati, 2010 : 9).
Menurut Mulyadi (dalam Mela Melaniawati, 2010 : 9) menyatakan bahwa: “Biaya adalah pengorbanan sumber ekonomi, yang diukur dalam satuan uang, yang telah terjadi atau yang kemungkinan akan terjadi untuk mencapai tujuan tertentu”.
Sedangkan menurut Henry Simamora (1999:36) pengertian biaya adalah sebagai berikut:
Biaya adalah kas atau nilai setara kas yang dikorbankan untuk barang atau jasa yang diharapkan dapat memberikan manfaat pada saat ini atau dimasa mendatang bagi organisasi. Disebut setara kas karena sumber-sumber daya kas dapat ditukarkan dengan barang atau jasa yang dikehendaki.

Charles T. Hongren (dalam Mela Melaniawati, 2010 : 9), menyatakan bahwa: “Biaya (cost) sebagai suatu sumber daya yang dikorbankan (sacrified) atau dilepaskan (forgone) untuk mencapai tujuan tertentu”.
Sedangkan menurut Don R. Hansen (dalam Mela Melaniawati, 2010 : 9) menyatakan bahwa: “Biaya sebagai kas atau nilai ekuivalen kas yang dikorbankan untuk mendapatkan barang atau jasa yang diharapkan memberi manfaat saat ini atau dimasa yang akan datang bagi organisasi”.
Lebih lanjut Supriyono (2000:16) menyatakan bahwa: “Biaya adalah harga perolehan yang dikorbankan atau digunakan dalam rangka memperoleh penghasilan atau revenue yang akan dipakai sebagai pengurang penghasilan”.
Selanjutnya menurut Masiyah Kholmi (dalam http://tryusnita.wordpress.com/2009/05/06/biaya-berbagai-macam-pengertian-biaya/ ) bahwa: “Biaya adalah pengorbanan sumber daya atau nilai ekuivalen kas yang dikorbankan untuk mendapatkan barang atau jasa yang diharapkan memberi manfaat di saat sekarang atau di masa yang akan datang bagi perusahaan”.
Dari beberapa pengertian biaya yang didefinisikan oleh para pakar maka penulis dapat simpulkan bahwa biaya merupakan pengorbanan sumber ekonomi dalam satuan rupiah untuk menghasilkan atau mendapatkan tujuan tertentu dimasa mendatang.

2.1.1.2 Penggolongan Biaya
Penggolongan biaya berdasarkan aktivitas perusahaan menurut Henry Simamora (1999:3) adalah sebagai berikut:
a.Klasifikasi biaya dalam perusahaan pabrikasi:
a.C.1.Biaya Pabrikasi
a.C.2.Biaya Non Pabrikasi
b.klasifikasi biaya dalam perusahaan dagang
c.Klasifikasi biaya dalam dalam perusahaan jasa
Penjelasan mengenai penggolongan biaya berdasarkan aktivitasnya adalah sebagai berikut:
a.Klasifikasi biaya dalam perusahaan pabrikasi:
1.Biaya Pabrikasi. Perusahaan pabrikasi kegiatan utamanya mengolah bahan baku menjadi bahan jadi yang siap untuk dijual, melalui usaha tenaga kerja. Biaya pabrikasi pada umumnya terbagi dalam tiga komponen yaitu: biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya overhead pabrik.


2.Biaya Non Pabrikasi. Biaya non pabrikasi (Non manufacturing cost) dimana biaya yang dikeluarkan tidak dapat dikaitkan atau dibebankan kepada sebuah produk manufaktur. Pada prinsipnya biaya non pabrikasi digolongkan kedalam dua kategori yaitu: biaya pemasaran serta biaya administrasi dan umum.
b.klasifikasi biaya dalam perusahaan dagang
dalam perusahaan dagang, biaya produki adalah biaya yang dikeluarkan untuk membeli barang dagangan dan menjualnya kembali kepada para langganannya.
c.Klasifikasi biaya dalam dalam perusahaan jasa
Dalam perusahaan jasa, biaya produk dikatakan sebagai biaya jasa yang meliputi biaya tenaga kerja, keperluan kantor, dan biaya lainnya yang berkaitan langsung dengan penyerahan jasa kepada pelanggan.
Menurut Supriono (2000:18) penggolongan biaya sesuai dengan fungsi pokok dari kegiatan atau aktivitas perusahaan, dikelompokan menjadi :
1.Biaya produksi, yaitu semua biaya yang berhubungan dengan fungsi produksi atau kegiatan pengolahan bahan baku menjadi produk selesai.
2.Biaya pemasaran, yaitu biaya dalam rangka penjualan produk selesai.
3.Biaya administrasi dan umum, yaitu semua biaya yang berhubungan dengan fungsi administrasi dan umum.
4.Biaya keuangan, adalah semua biaya yang terjadi dalam melaksanakan fungsi keuangan.

Sedangkan menurut Mulyadi (2005:13) biaya dapat digolongkan kedalam lima golongan yaitu:
1.Penggolongan biaya menurut objek pengeluarannya
2.Penggolongan biaya menurut fungsi pokok dalam perusahaan
a.Biaya produksi
b.Biaya pemasaran
c.Biaya administrasi dan umum
3.Penggolongan biaya menurut hubungan biaya dengan sesuatu yang dibiayai.
a.Biaya langsung
b.Biaya tidak langsung
4.Penggolongan biaya menurut prilaku hanya dalam hubungannya dengan perubahan volume kegiatan
a.Biaya variabel
b.Biaya semi variabel
c.Biaya tetap
5.Penggolongan biaya menurut jangka waktu manfaatnya dapat dibagi menjadi dua:
a.i.1.Pengeluaran modal
a.i.2.Pengeluaran pendapatan

Penjelasan mengenai penggolongan biaya adalah sebagai berikut:

1.i.1.Penggolongan biaya menurut objek pengeluarannya
Dengan cara penggolongan ini, nama objek pengeluaran merupakan dasar penggolongan biaya. Seperti nama objek pengeluaran adalah bahan bakar, maka semua pengeluaran yang berhubungan dengan bahan bakar disebut “biaya bahan bakar”.
1.i.2.Penggolongan biaya menurut fungsi pokok dalam perusahaan
Penggolongan biaya ini dalam perusahaan dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
a.Biaya produksi. Merupakan biaya-biaya yang terjadi untuk mengolah bahan baku menjadi barang jadi yang siap untuk dijual.
Contohnya: biaya bahan penolong, biaya bahan baku, biaya gaji karyawan yang bekerja dalam bagian-bagian baik yang langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan proses produksi.
b.Biaya pemasaran. Merupakan biaya-biaya yang terjadi untuk melaksanakan kegiatan pemasaran produk.
Contohnya: biaya iklan, biaya promosi, gaji karyawan bagian pemasaran.
c.Biaya administrasi dan umum. Merupakan biaya-biaya untuk mengkoordinasikan kegiatan produksi dan pemasaran produk.
Contohnya: biaya gaji karyawan keuangan, akuntansi, personalia, dan bagian humas, biaya pemeriksa akuntan, biaya fotocopy.
1.i.3.Penggolongan biaya menurut hubungan biaya dengan sesuatu yang dibiayai.

Dalam hubungannya dengan sesuatu yang dibiayai, biaya dapat dikelompokan kedalam dua kelompok, yaitu:
a.Biaya langsung, merupakan biaya yang terjadi dan penyebab satu-satunya adalah karena adanya sesuatu yang dibiayai. Contohnya: gaji bulanan dari manajer divisi tertentu dimana divisi merupakan objek biaya, maka gaji tersebut merupakan biaya langsung divisi tersebut.
b.Biaya tidak langsung, merupakan biaya yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh sesuatu yang dibiayai. Contoh: asuransi gedung bagi departemen produksi yang dibayar untuk seluruh gedung dan departemen produksi yang dibayar yang debebani, maka biaya asuransi gedung bagi departemen produksinya adalah biaya tidak langsung.
1.i.4.Penggolongan biaya menurut prilaku hanya dalam hubungannya dengan perubahan volume kegiatan.

a.Biaya variabel, merupakan biaya yang jumlah totalnya berubah-ubah secara proporsional dengan volume kegiatan.
b.Biaya semi variabel, merupakan biaya yang berubah dengan adanya perubahan volume atau kapasitas tetapi tidak proporsional dengan perubahan volume.
c.Biaya tetap, merupakan biaya yang jumlah totalnya tetap dalam kisaran kegiatan tertentu.
1.i.5.Penggolongan biaya menurut jangka waktu manfaatnya dapat dibagi menjadi dua:

1.Pengeluaran modal, merupakan biaya yang mempunyai manfaat lebiah dari satu periode akuntansi. Contohnya: pengeluaran untuk pembelian aktiva, untuk investasi, untuk riset dan pengembangan produk.
2.Pengeluaran pendapatan, merupakan pengeluaran yang hanya mempunyai manfaat dalam periode akuntansi terjadinya pengeluaran tertentu. Pada saat terjadinya pengeluaran pendapatan ini dibebankan sebagai biaya tertentu. Contohnya: biaya pengeluaran pendapatan antara lain biaya iklan, biaya telepon, dan biaya tenaga kerja.
Menurut Haryanto, (dalam Melaniawati, 2010) bahwa biaya secara lebih luas dalam suatu perusahaan dapat dibedakan menjadi :
1.Biaya Tetap (Fixed Cost)
a.Biaya tetap total (total fixed cost),
b.Biaya tetap rata-rata (average fixed cost).
2.Biaya Variabel (Variabel Cost)
a.Biaya variabel total (total variabel cost),
b.Biaya variabel rata-rata (average variabel cost).
3.Biaya Total (Total Cost)
4.Biaya Rata-Rata (Average Cost)
5.Biaya Marginal (Marginal Cost)
Penjelasan mengenai biaya secara lebih luas adalah sebagai berikut:

1.Biaya Tetap (Fixed Cost)
Biaya tetap merupakan biaya yang dalam kurun waktu tertentu jumlahnya tetap dan tidak berubah. Biaya ini tidak tergantung dari banyak sedikitnya barang atau output yang dihasilkan. Misalnya biaya gaji pegawai tetap, manajer, sewa tanah, penyusutan mesin, bunga pinjaman bank. Biaya tetap ini dibedakan menjadi dua macam yaitu :
a.Biaya tetap total (total fixed cost), merupakan jumlah keseluruhan biaya yang dikeluarkan dalam jumlah tetap dalam jangka waktu tertentu.
b.Biaya tetap rata-rata (average fixed cost), merupakan biaya tetap yang dibebankan pada setiap satuan output yang dihasilkan.
2.Biaya Variabel (Variabel Cost)
Biaya variabel merupakan pengeluaran yang jumlahnya tidak tetap atau berubah-ubah sesuai dengan jumlah output yang dihasilkan. Dalam hal ini, semakin banyak jumlah produk yang dihasilkan, semakin besar pula biaya variabelnya. Misalnya biaya bahan baku, bahan pembantu, bahan bakar, dan upah tenaga kerja langsung. Biaya variabel ini dibedakan menjadi dua macam yaitu :
a.Biaya variabel total (total variabel cost), merupakan seluruh biaya yang harus dikeluarkan selama masa produksi output dalam jumlah tertentu.
b.Biaya variabel rata-rata (average variabel cost), merupakan biaya variabel yang dikeluarkan untuk setiap unit output.
3.Biaya Total (Total Cost)
Biaya total merupakan jumlah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi semua output, baik barang maupun jasa. Biaya ini dapat dihitung dengan menjumlahkan biaya tetap total dengan biaya variabel total.
4.Biaya Rata-Rata (Average Cost)
Biaya rata-rata merupakan biaya total yang dikeluarkan untuk setiap unit output.
5.Biaya Marginal (Marginal Cost)
Biaya marginal merupakan kenaikan dari biaya total yang diakibatkan oleh diproduksinya tambahan satu unit output.

2.1.1.3 Pengertian Kualitas
Banyak kriteria atau ukuran kualitas yang bervariasi dan cenderung terus dapat berubah sepanjang waktu, maka tidaklah mudah untuk mendefinisikan kualitas secara tepat. Kualitas secara konvensional menggambarkan kharakteristik langsung dari suatu produk seperti performance, kehandalan, mudah dalam penggunaan, dan estetika. Sedangkan definisi kualitas secara strategic adalah sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan. (Gaspersz, dalam Saputro, 2010 : 24)
Menurut Tjiptono (dalam Saputro, 2010 : 24) mengemukakan bahwa: “Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”. Konsep kualitas itu sendiri sering dianggap sebagai ukuran relatif kebaikan suatu produk atau jasa yang terdiri atas kualitas desain dan kualitas kesesuaian. Kualitas desain merupakan fungsi spesifikasi produk, sedangkan kualitas kesesuaian adalah suatu ukuran seberapa jauh suatu produk mampu memenuhi persyaratan atau spesifikasi kualitas yang telah ditetapkan.
Menurut Kotler (1997:57) mengemukakan bahwa: “Kualitas pelayanan harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan”. Ini berarti bahwa kualitas yang baik bukan dilihat dari penyedia jasa, melainkan berdasar pada persepsi pelanggan. Dari pengertian tersebut, bahwa kualitas selalu berfokus pada pelanggan. Dengan demikian produk atau jasa yang didesain, diproduksi dan ditawarkan serta pelayanan yang diberikan untuk memenuhi keinginan pelanggan.
Kualitas berfokus pada kepuasan konsumen, perlu dipahami komponen-komponen yang berkaitan dengan kepuasan konsumen itu. Pada dasarnya kepuasan konsumen dapat didefinisikan secara sederhana sebagai suatu keadaan dimana kebtuhan, keinginan, dan harapan konsumen dapat terpenuhi melalui produk yang dikonsumsi. Dari pengertian kualitas diatas penulis dapat simpulkan bahwa kualitas adalah kesesuaian atau sesuatu yang mampu memenuhi atau melebihi keinginan atau harapan (Gasversz, 2003: 13).
Jadi dari pengertian kualitas yang dikemukakan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa kualitas adalah suatu kondisi yang berhubunga dengan produk atau jasa yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan sesuai dengan harapan.

2.1.1.4 Perspektif Kualitas
Tjiptono (dalam Saputro, 2010: 24) mengatakan ada lima macam perspektif kualitas yang berkembang. Kelima macam perspektif inilah yang bisa menjelaskan mengapa kualitas bisa diartikan secara beranekaragam oleh orang yang berbeda dalam situasi yang berlainan. Adapun kelima macam perspektif kualitas tersebut meliputi:
c.C.1.Transcendental approach
c.C.2.Product-based approach
c.C.3.User-based approach
c.C.4.Manufacturing-based approach
c.C.5.Value-based approach

Penjelasan mengenai persfektif kualitas adalah sebagai berikut:

1. Transcendental approach
Dalam pendekatan ini, kualitas dipandang sebagai innate excellence, dimana kualitas dapat dirasakan atau diketahui, tetapi sulit didefinisikan dan dioperasionalisasikan. Dengan demikian fungsi perencanaan, produksi, dan pelayanan suatu perusahaan sulit sekali menggunakan definisi seperti ini sebagai dasar manajemen kualitas.
2. Product-based approach
Pendekatan ini menganggap bahwa kualitas merupakan karakteristik atau atribut yang dapat dikuantitatifkan dan dapat diukur. Perbedaan dalam kualitas mencerminkan perbedaan dalam jumlah dan beberapa unsur atau atribut yang dimiliki produk. Karena pandangan ini sangat objektif, maka tidak dapat menjelaskan perbedaan dalam selera, kebutuhan, dan preferensi individual.
3. User-based approach
Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung pada orang yang memandangnya, sehingga produk yang paling memuaskan preferensi seseorang (misalnya perceived quality) merupakan produk yang berkualitas paling tinggi. Perspektif yang subjektif dan demand-oriented ini juga menyatakan bahwa pelanggan yang berbeda memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda pula, sehingga kualitas bagi seseorang adalah sama dengan kepuasan maksimum yang dirasakannya.
4. Manufacturing-based approach
Perspektif ini bersifat supply-based dan terutama memperhatikan praktikpraktik perekayasaan dan pemanufakturan, serta mendefinisikan kualitas sebagai kesesuaian/sama dengan persyaratan (conformance to requirement). Dalam sector jasa dapat dikatakan bahwa kualitasnya bersifat operationsdriven. Pendekatan ini berfokus pada penyesuaian spesifikasi yang dikembangkan secara internal, yang seringkali didorong oleh tujuan peningkatan produktifitas dan penekanan biaya. Jadi yang menentukan kualitas adalah standar-standar yang ditetapkan perusahaan, bukan konsumen yang menggunakannya.
5. Value-based approach
Pendekatan ini memandang kualitas dari segi nilai dan harga. Dengan mempertimbangkan trade-off antara kinerja dan harga, kualitas didefinisikan sebagai “affordable-excellence”. Kualitas dalam perspektif ini bersifat relatif, sehingga produk yang memiliki kualitas paling tinggi belum tentu produk yang paling bernilai. Akan tetapi yang paling bernilai adalah barang atau jasa yang paling tepat dibeli (best-buy). Tjiptono (dalam Saputro, 2010 : 25) menambahkan bahwa kualitas yang superior dapat memberikan manfaat antara lain berupa:
1. loyalitas pelanggan yang lebih besar
2. pangsa pasar yang lebih besar
3. harga saham yang lebih tinggi
4. harga jual yang lebih tinggi
5. produktifitas yang lebih besar

Jadi perusahaan yang menawarkan barang atau jasa berkualitas superior akan dapat mengalahkan pesaingnya yang menghasilkan kualitas inferior.

2.1.1.5 Pengertian Kualitas Produk
Produk didefinisikan sebagai apa saja yang dapat ditawarkan ke pasar untuk diperhatikan, diperoleh, digunakan atau dikonsumsi yang dapat memenuhi keinginan atau kebutuhan.
Produk yang ditawarkan dapat meliputi barang fisik, jasa, orang atau pribadi, tempat, organisasi, dan ide. Jadi, produk bisa berupa manfaat tangible maupun intangible yang dapat memuaskan pelanggan. Secara konseptual, produk adalah pemahaman subyektif dari produsen atas “sesuatu” yang bisa ditawarkan sebagai usaha untuk mencapai tujuan organisasi melalui pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen, sesuai dengan kompetensi dan kapasitas organisasi serta daya beli pasar. Selain itu produk dapat pula didefinisikan sebagai persepsi konsumen yang dijabarkan oleh produsen melalui hasil produksinya. Secara lebih rinci, konsep produk total meliputi barang, kemasan, merek, label, pelayanan, dan jaminan. (Tjiptono, dalam Saputro, 2010 : 27).
Menurut Kotler dan Keller (2009 : 143) mengemukakan bahwa: “Kualitas produk atau jasa adalah produk atau jasa yang telah memenuhi atau melebihi ekspektasi pelanggan”.
Sedangkan menurut American Society for Quality Contor, (dalam Kotler dan Keller, 2007 : 180) menyatakan bahwa: “Mutu produk atau jasa adalah keseluruhan fitur dan sifat produk atau pelayanan yang berpengaruh pada kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau yang tersirat”.
Kotler dan Amstrong (dalam Saputro, 2010: 27) mengemukakan bahwa: “Kualitas produk adalah kemampuan suatu produk untuk melaksanakan fungsinya, meliputi kehandalan, daya tahan, ketepatan, kemudahan operasi, dan perbaikan produk, serta atribut bernilai lainnya”. Sementara Kotler (dalam Saputro, 2010 : 27) berpendapat bahwa mutu produk dipakai untuk menyatakan tingkat kemampuan kerja suatu produk sesuai spesifikasi yang dijanjikan.
Dari pengertian kualitas produk di atas penulis dapat simpulkan bahwa kualitas produk adalah kemampuan suatu produk dalam menjalankan fungsi, kegunaan, ketahanan yang dapat memberikan kepuasan kepada konsumen seperti yang telah dijanjikan dan dapat memenuhi ekspektasi pelanggan.

2.1.1.6 Pengukuran Kualitas Produk
John Sviokla seperti yang dikutip oleh Lupiyoadi (dalam Saputro, 2010: 28) mengemukakan bahwa kualitas suatu produk memiliki delapan dimensi pengukuran yang terdiri dari aspek-aspek berikut:
b.1.Kinerja (Performance)
b.2.Keragaman produk (Features)
b.3.Kehandalan (Reliability)
b.4.Kesesuaian (Conformance)
b.5.Daya tahan/ketahanan (Durability)
b.6.Kemampuan pelayanan (Serviceability)
b.7.Estetika (Aesthetics)
b.8.Kualitas yang dipersepsikan (Perceive quality)

Penjelasan mengenai dimensi pengukuran kualitas produk adalah sebagai berikut:
1. Kinerja (Performance)
Kinerja disini merujuk pada karakter produk inti yang meliputi merek, atributatribut yang dapat diukur, dan aspek-aspek kinerja individu. Kinerja beberapa produk biasanya didasari oleh preferensi subjektif pelanggan yang pada dasarnya bersifat umum (universal).
2. Keragaman produk (Features)
Dapat berbentuk produk tambahan dari suatu produk inti yang dapat menambah nilai suatu produk. Features suatu produk biasanya diukur ecara subjektif oleh masing-masing individu (dalam hal ini konsumen) yang menunjukkan adanya perbedaan kualitas suatu produk. Dengan demikian perkembangan kualitas suatu produk menuntut karakter fleksibilitas agar dapat menyesuaikan diri dengan permintaan pasar.
3. Kehandalan (Reliability)
Dimensi ini berkaitan dengan timbulnya kemungkinan suatu produk mengalami keadaan tidak berfungsi (malfunction) pada suatu periode. Kehandalan suatu produk yang menandakan tingkat kualitas sangat berarti bagi konsumen dalam memilih produk. Hal ini menjadi semakin penting mengingat besarnya biaya penggantian dan pemeliharaan yang harus dikeluarkan apabila produk yang dianggap tidak reliable mengalami kerusakan.
4. Kesesuaian (Conformance)
Dimensi lain yang berhubungan dengan kualitas suatu barang adalah kesesuaian produk dengan standar dalam industrinya. Kesesuaian suatu produk dalam industri jasa diukur dari tingkat akurasi dan waktu penyelesaian termasuk juga perhitungan kesalahan yang terjadi, keterlambatan yang tidak dapat diantisipasi dan beberapa kesalahan lain.
5. Daya tahan/ketahanan (Durability)
Ukuran ketahanan suatu produk meliputi segi ekonomis maupun teknis. Secara teknis, ketahanan suatu produk didefinisikan sebagai sejumlah kegunaan yang diperoleh oleh seseorang sebelum mengalami penurunan kualitas. Secara ekonomis, ketahanan diartikan sebagai usia ekonomis suatu produk dilihat melalui jumlah kegunaan yang diperoleh sebelum terjadi kerusakan dan keputusan untuk mengganti produk.
6. Kemampuan pelayanan (Serviceability)
Kemampuan pelayanan bisa juga disebut dengan kecepatan, kompetensi, kegunaan, dan kemudahan produk untuk diperbaiki. Dimensi ini menunjukkan bahwa konsumen tidak hanya memperhatikan adanya penurunan kualitas produk tetapi juga waktu sebelum produk disimpan, penjadwalan pelayanan, proses komunikasi dengan staff, frekuensi pelayanan perbaikan akan kerusakan produk dan pelayanan lainnya. Variabel-variabel tersebut dapat merefleksikan adanya perbedaan standar perorangan mengenai pelayanan yang diterima. Dimana kemampuan pelayanan suatu produk tersebut menghasilkan kesimpulan akan kualitas produk yang dinilai secara subjektif oleh konsumen.
7. Estetika (Aesthetics)
Merupakan dimensi pengukuran yang paling subjektif. Estetika suatu produk dilihat melalui bagaimana suatu produk terdengar oleh konsumen, bagaimana tampak luar suatu produk, rasa, maupun bau. Jadi estetika jelas merupakan penilaian dan refleksi yang dirasakan oleh konsumen.
8. Kualitas yang dipersepsikan (Perceive quality)
Konsumen tidak selalu memiliki informasi yang lengkap mengenai atributatribut produk dan jasa. Namun demikian, biasanya konsumen memiliki informasi tentang produk secara tidak langsung, misalnya melalui merek, nama dan negara produsen. Ketahanan produk misalnya, dapat menjadi sangat kritis dalam pengukuran kualitas produk.
Sedangkan menurut David Garvin (dalam Gaspersz, 2003: 119) menyatakan delapan dimensi kualitas kualitas produk sebagai berikut:
1.Performansi (Performance)
2.Features
3.Keandalan (Reliability)
4.Konformans (Conformance)
5.Durabilitas (Durability)
6.Kemampuan Pelayanan (Serviceability)
7.Estetika (Aesthetics)
8.Kualitas yang dirasakan (Perceived Quality)

Penjelasan mengenai delapan demensi kualitas produk adalah sebagai berikut:
1.Performansi (Performance)
Berkaitan denga aspek fungsional dari produk itu dam merupakan karakteristik utama yang dipertimbangkan konsumen ketika ingin membeli suatu produk. Misalnya, performansi dari produk TV berwarna adalah memiliki gambar yang jelas, performansi dari produk mobil adalah akselerasi, kecepatan, kenyamanan dan pemeliharaan, performansi dari penerbangan adalah ketepatan waktu, dan lain-lain.
2.Features
Merupakan aspek kedua dari performansi yang menambah fungsi dasar, berkaitan dengan pilahn-pilihan dan pengembangannya. Misalnya, features untuk penerbangan adalah memberikan minuman atau makanan gratis dalam pesawat, pembelian tiket melalui telepon dan penyerahan dirumah, pelaporan keberangkatan dikota dan diantar kelapangan terbang. Features dari produk mobil seperti atap yang dapat dibuka, dan lain-lain. Sering kali terdapat kesulitan untuk memisahkan karakteristik performansi dan features. Biasanya mendefinisikan nilai dalam bentuk flessibilitas dan kemampuan mereka untuk memilih features yang ada, juga kualitas dari features itu.
3.Keandalan (Reliability)
Berkaitan dengan probabilitas atau kemungkinan suatu produk melaksanakan fungsinya secara berhasil dalam periode waktu tertentu dibawah kondisi tertentu. Dengan demikian keandalan merupakan karakteristik yang merefleksikan kemungkinan probabilitas tingkat keberhasilan dalam penggunaan produk itu.
4.Konformans (Conformance)
Berkaitan dengan tingkat kesesuaian produk terhadap spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan keinginan konsumen. Konformans merefleksikan derajat dimana karakteristik desain produk dan karakteristik operasi memenuhi standar yang telah ditetapkan. Sering didefinisikan sebagai konformans terhadap kebutuhan.

5.Durabilitas (Durability)
Merupakan ukuran masa pakai suatu produk. Karakteristik ini berkaitan dengan daya tahan dari produk itu. Misalnya, konsumen akan membeli ban mobil berdasarkan daya tahan ban itu dalam penggunaan, sehingga ban-ban mobil yang memiliki masa pakai yang lebih panjang tentu merupakan salah satu karakteristik kualitas produk yang akan dipertimbangkan oleh konsumen ketika akan membeli suatu produk ban.
6.Kemampuan Pelayanan (Serviceability)
Merupakan karakteristik yang berkaitan dengan kecepatan, keramahan/kesopanan, kompetensi, dan kemudahan serta akurasi dalam perbaikan. Misalnya, ketika menjumpai saat ini bahwa banyak perusahaan otomotif yang memberikan pelayanan perawatan atau perbaikan mobil sepanjang hari (24 jam), atau permintaan pelayanan melalui telepon dan perbaikan mobil dilkukan dirumah.
7.Estetika (Aesthetics)
Merupakan karakteristik yang bersifat subyektif sehingga berkaitan dengan pertimbangan pribadi dan refleksi dan preferensi individual. Dengan demikian estetika dari suatu produk lebih banyak berkaitan dengan perasaan pribadi dan mencakup karakteristik tertentu, seperti : keelokan, kemulusan, suara yang merdu, selera, dan lain-lain.
8.Kualitas yang dirasakan (Perceived Quality)
Bersifat subyektif berkaitan dengan perasaan konsumen dalam mengkonsumsi produk itu, seperti: meningkatkan harga diri, dan lain-lain. Merupakan karakteristik yang berkaitan dengan reputasi (brand name, image). Misalnya, seseorang akan membeli produk elektronik merk Sony karena memiliki reputasi bahwa produk-produk bermerk sony adalah berkualitas, meskipun orang-orang belum pernah menggunakan produk-produk bermerk sony.

2.1.1.7 Pengertian Biaya Kualitas
Dengan adanya faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kualitas, maka perusahaan akan mengeluarkan biaya-biaya kualitas. Apabila akan mempertahankan hasil produksinya. Definisi dari biaya kualitas itu sendiri banyak di kemukakan oleh para ahli, diantaranya sebagai berikut:
Menurut Hansen & Mowen yang diterjemahkan oleh Ancella A. Hermawan (2000 : 7) mendefinisikan bahwa: “Biaya mutu (cost of quality) adalah biaya yang timbul karena mungkin atau telah di hasilkan produk yang rendah mutunya”.
Menurut Amin Widjaja Tunggal (2009 : 786) mendefinisikan bahwa: “Biaya kualitas adalah biaya yang muncul karena produk dapat atau pada kenyataanya gagal memenuhi spesifikasi desain (dan karenanya berkaitan dengan kesesuaian kualitas)”.
Sedangkan Fandy Tjiptono & Anastasia Diana (2000 : 34) mendefinisikan biaya kualitas sebagai berikut:
Biaya kualitas adalah biaya yang terjadi atau mungkin akan terjadi karena kualitas yang buruk, dan biaya kualitas juga dapat dikatakan biaya yang berhubungan dengan penciptaan, pengidentifikasian, perbaikan, dan pencegahan kerusakan.

Definisi di atas mengimplikasikan bahwa biaya kualitas berhubungan dengan dua sub kategori dari dua kekuatan yang terkait dengan mutu yaitu kegiatan pengendalian dan kegiatan produk gagal. Kegiatan pengendalian dilaksanakan oleh suatu organisasi untuk mencegah atau mendeteksi kualitas produk rendah. Dengan demikian biaya kualitas meliputi biaya pengendalian kualitas dan biaya produk gagal. Biaya pengendalian kualitas adalah biaya yang di keluarkan oleh perusahaan untuk menjalankan kegiatan pengendalian kualitas yang meliputi biaya pencegahan, biaya penilaian. Sedangkan biaya produk gagal merupakan biaya yang di keluarkan oleh perusahaan karena terjadi kegiatan produk gagal yang terdiri dari biaya kegagalan internal dan biaya kegagalan eksternal.

2.1.1.8 Komponen-Komponen Biaya Kualitas
Menurut Fandy Tjiptono & Anastasia Diana (2000: 34) biaya kualitas dapat dikelompokan menjadi 4 (empat) golongan, yaitu sebagai berikut:
(1)Biaya pencegahan
Biaya pencegahan adalah biaya yang terjadi untuk mencegah kerusakan produk yang dihasilkan, biaya ini meliputi biaya yang berhubungan dengan perancangan, pelaksanaan dan pemeliharaan sistem kualitas.
(2)Biaya Penilaian
Biaya penilaian adalah biaya yang terjadi untuk menentukan apakah produk dan jasa sesuai dengan persyaratan-persyaratan kualitas.

(3)Biaya Kegagalan Internal
Biaya kegagalan internal adalah biaya yang terjadi karena ada ketidaksesuaian dan persyaratan dan terdeteksi sebelum barang atau jasa tersebut dikirimkan ke pihak luar atau konsumen.
(4)Biaya kegagalan eksternal
Biaya kegagalan eksternal adalah biaya yang terjadi karena produk gagal tidak memenuhi persyaratan yang diketahui setelah produk tersebut dikirimkan kepada konsumen.
Adapun menurut Blocher. et, al., yang di terjemahkan oleh A. Susty Ambarriani (2000 : 220) biaya kualitas dibagi dalam empat komponen yaitu:
1.Biaya pencegahan yaitu biaya yang timbul untuk mencegah produksi produk-produk yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan, yang bertujuan untuk menurunkan kuantitas produk yang tidak memenuhi spesifikasi kualitas yang telah ditetapkan sehingga dapat menurunkan biaya kegagalan.misalnya biaya pencegahan adalah biaya pelatihan kualitas, perencanaan kualitas, pemeliharaan kualitas, biaya inspeksi bahan baku dan biaya pemeliharaan peralatan produksi, gaji bagian produksi dan gaji bagian laboratorium.
2.Biaya penilaian yaitu biaya-biaya yang terjadi dalam mendeteksi produk yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan dan tujuan utama fungsi penilaian untuk mencegah pengiriman barang-barang yang itdak sesuai dengan persyaratan kepada pelanggan. Misalnya, biaya penilaian adalah biaya pengujian dan inspeksi, biaya pemeliharaan peralatan pengujian, dan gaji bagian quality control.
3.Biaya kegagalan internal yaitu biaya-biaya yang terjadi ketika produk yang tidak sesuai dengan spesifikasi dapat dideteksi sebelum dikirim ke konsumen. Misalnya biaya kegagalan internal adalah biaya tindakan koreksi, biaya pengerjaan kembali, biaya proses, biaya inspeksi dan pengujian ulang.
4.Biaya kegagalan eksternal yaitu biaya-biaya yang terjadi ketika produk yang tidak sesuai dengan spesifikasi dideteksi setelah dikirim ke konsumen. Misalnya biaya-biaya kegagalan eksternal adalah biaya bahan baku yang dikelola kembali, biaya transport atas penarikan kembali produk gagal dan penjualan yang hilang karena produk yang tidak memuaskan.

2.1.1.9 Manfaat Informasi Biaya Kualitas
Informasi biaya kualitas diperlukan untuk menolong para manajer pengontrol kinerja kualitas dan untuk menjadi input bagi pengambilan keputusan, digunakan untuk mengevaluasi keseluruhan kinerja dari program perbaikan kualitas, dan digunakan untuk membantu memperbaiki berbagai keputusan manajerial (Amin Widjaja Tunggal, 2009: 787).
Adapun menurut Fandy Tjiptono & Anastasia Diana (2000 : 40) informasi biaya kualitas dapat memberikan berbagai macam manfaat antara lain dapat di gunakan untuk:
1.Mengidentifikasi peluang laba (penghematan biaya dapat meningkatkan laba).
2.Mengambil keputusan capital budgeting dan keputusan infestasi lainnya.
3.Menekankan biaya pembelian dan biaya yang berkaitan dengan pemasok.
4.Mengidentifikasi pemborosan dalam aktifitas yang tidak di kehendaki oleh para pelanggan.
5.Mengidentifikasi sistem yang berlebihan.
6.Menentukan apakah biaya kualitas telah di distribusikan secara tepat.
7.Penentuan dalam anggaran dan perencanaan laba
8.Mengidentifikasi masalah-masalah kualitas
9.Dijadikan sebagai alat manajemen untuk ukuran perbandingan tentang hubungan masukan dan keluaran.
10.Dijadikan sebagai alat manajemen strategi untuk mengalokasikan sumber daya dalam perumusan dan pelaksanaan strategi.
11.Dijadikan sebagai ukuran penilaian kinerja yang objektif.


2.1.2 Tingkat Pertumbuhan Penjualan
2.1.2.1 Pengertian Penjualan
Penjualan merupakan sumber hidup suatu perusahaan, karena dari penjualan dapat diperoleh laba serta suatu usaha memikat konsumen yang diusahakan untuk mengetahui daya tarik mereka sehingga dapat mengetahui hasil produk yang dihasikan. Penjualan dalam lingkup kegiatan, sering disalahartikan dengan pengertian pemasaran. Penjualan dalam lingkup ini lebih berarti tindakan menjual barang atau jasa. Kegiatan pemasaran adalah penjualan dalam lingkup hasil atau pendapatan berarti penilaian atas penjualan nyata perusahaan dalam suatu periode.
Adapun pengertian penjualan menurut Soemarso (2002:226) bahwa: “Penjualan adalah jumlah yang dibebankan kepada pembeli karena penjualan barang dan jasa baik secara kredit maupun tunai”.
Sedangkan menurut Marwan (dalam Silviawati, 2010: 28), mengemukakan bahwa: “Penjualan adalah suatu usaha yang terpadu untuk mengembangkan rencana-rencana strategis yang diarahkan pada usaha pemuasan kebutuhan dan keinginan pembeli, guna mendapatkan penjualan yang menghasilkan laba”.
Sedangkan menurut Winardi (dalam Silviawati, 2010:28) mengemukakan bahwa: “Penjualan adalah suatu transfer hak atas benda-benda”.
Dari penjelasan tersebut dalam mentransfer barang atau jasa diperlukan orang-orang yang bekerja dibidang penjualan seperti, pelaksanaan dagang, agen, wakil pelayanan dan wakil pemasaran.
Dari definisi penjualan diatas dapat penulis simpulkan bahwa penjualan adalah sumber hidup perusahaan untuk melakukan aktivitas untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen, guna untuk menghasilkan laba.

2.1.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Kegiatan Penjualan
Menurut Swastha dan Irawan, (dalam Silviawati, 2010) dalam praktek, kegiatan penjualan itu dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sebagai berikut:
1.Kondisi dan kemampuan penjual
Transaksi jual-beli atau pemindahan hak milik secara komersial atas barang dan jasa itu pada prinsipnya melibatkan dua pihak, yaitu penjual sebagai pihak pertama dan pembeli sebagai pihak kedua. Disini penjual harus dapat menyakinkan kepada pembelinya agar dapat berhasil mencapai sasaran penjualan yang diharapkan.untuk maksud tersebut penjual harus memahami beberapa masalah penting yang sangat berkaitan, yakni:
a. Jenis dan karakteristik barang yang di tawarkan
b. Harga produk
c. Syarat penjualan seperti: pembayaran, penghantaran, pelayanan sesudah penjualan, garansi dan sebagainya
2.Kondisi pasar
Pasar, sebagai kelompok pembeli atau pihak yang menjadi sasaran dalam penjualan, dapat pula mempengaruhi kegiatan penjualannya. Adapun faktor-faktor kondisi pasar yang perlu di perhatikan adalah:
a. Jenis pasarnya
b. Kelompok pembeli atau segmen pasarnya
c. Daya belinya
d. Frekuensi pembelian
e. Keinginan dan kebutuhan
3.Modal
Akan lebih sulit bagi penjualan barangnya apabila barang yang dijual tersebut belum dikenal oleh calon pembeli, atau apabila lokasi pembeli jauh dari tempat penjual. Dalam keadaan seperti ini, penjual harus memperkenalkan dulu, membawa barangnya ketempat pembeli. Untuk melaksanakan maksud tersebut diperlukan adanya sarana serta usaha, seperti: alat transport, tempat peragaan baik didalam perusahaan maupun di luar perusahaan, usaha promosi, dan sebagainya. Semua ini hanya dapat dilakukan apabila penjualan memiliki sejumlah modal yang diperlukan untuk itu.



4.Kondisi perusahaan
Pada perusahaan besar, biasanya masalah penjualan ini ditangani oleh bagian tersendiri (bagian penjualan) yang dipegang orang-orang tertentu/ahli di bidang penjualan.
5.Faktor lain
Faktor-faktor lain, seperti: periklanan, peragaan, kampanye, pemberian hadiah, sering mempengaruhi penjualan. Namun untuk melaksanakannya, diperlukan sejumlah dana yang tidak sedikit. Bagi perusahaan yang bermodal kuat, kegiatan ini secara rutin dapat dilakukan. Sedangkan bagi perusahaan kecil yang mempunyai modal relatif kecil, kegiatan ini lebih jarang dilakukan. Ada pengusaha yang berpegangan pada suatu prinsip bahwa "paling penting membuat barang yang baik". Bilamana prinsip tersebut dilaksanakan, maka diharapkan pembeli akan kembali membeli lagi barang yang sama. Namun, sebelum pembelian dilakukan, sering pembeli harus dirangsang daya tariknya, misalnya dengan memberikan bungkus yang menarik atau dengan cara promosi lainnya.
Menurut Basu Swasta (2000: 422) faktor – faktor yang dapat mempengaruhi penjualan adalah:
1. Kondisi dan kemampuan penjual
Penjual harus dapat meyakinkan kepada pembelinya agar dapat berhasil mencapai sasaran penjualan yang diharapkan. Untuk itu penjual harus memahami bebarapa hal yaitu: jenis dan karakteristik barang yang ditawarkan, harga produk, dan syarat penjualan.

2. Kondisi pasar
Pasar sebagai kelompok pembeli atau pihak yang menjadi sasaran dalam penjualan, dapat pula mempengaruhi kegiatan penjualan. Adapun faktor – faktor kondisi pasar yang perlu diperhatikan adalah jenis pasar, kelompok pembeli, daya belinya, frekuensi pembeliannya, dan keinginan serta kebutuhannya.
3. Modal
Untuk melaksanakan kegiatan penjualan maka penjual harus memiliki sejumlah modal.
4. Kondisi organisasi
Pada perusahaan besar, biasanya masalah penjualan ini ditangani oleh bagian tersendiri (bagian penjualan) yang dipegang oleh orang – orang tertentu atau yang ahli dibidang penjualan. Sedangkan pada perusahaan kecil masalah penjualan masih ditangani oleh orang yang juga melaksanakan fungsi – fungsi lain.
5. Faktor – faktor lain
Faktor – faktor lain tersebut di antaranya adalah periklanan, peragaan, kampanye, dan pemberian hadiah.

2.1.2.3 Pengertian Volume Penjualan
Volume penjualan dapat dijabarkan sebagai umpan balik dari kegiatan pemasaran yang dilaksanakan oleh perusahaan. Volume penjualan menunjukan produktifitas suatu perusahaan dan juga keberhasilan dalam pemasaran.
Semakin besar volume penjualan maka semakin besar pula kemungkinan untuk mendapat keuntungan atau mengalami pertumbuhan laba perusahaan. Keberhasilan usaha penjualan dapat dilihat dari volume penjualan yang didapat. Dengan kata lain apakah usaha tersebut mendapatkan laba atau tidak, sangat bergantung pada keberhasilan penjualan itu.
Adapun menurut Freddy Rangkuti (2009:204) mengemukakan bahwa: “Volume penjualan merupakan jumlah total yang dihasilkan dari kegiatan penjualan barang dagangan.”
Menurut Mulyadi (2005:239) mengemukakan bahwa: “Volume penjualan merupakan ukuran yang menunjukan banyaknya atau besarnya jumlah barang atau jasa yang terjual”.
Sedangkan menurut Fandi Tjiptono (1995:254) mengemukakan bahwa: “Volume penjualan adalah jumlah barang dan jasa yang terjual berdasarkan data kuantitatif pada periode tertentu”.
Semakin besar penjualan yang dihasilkan perusahaan, maka semakin besar pula laba yang diperoleh perusahaan. Oleh karena itu, volume penjualan merupakan salah satu hal yang sangat penting yang harus dievaluasi yang memungkinkan perusahaan agar tidak rugi.
Jadi volume penjualan yang menguntungkan harus menjadi tujuan utama perusahaan dan bukannya untuk kepentingan volume itu sendiri. Keterangan tersebut dipertegas oleh Basu Swasta (dalam Silviawati, 2010:32) yang menyatakan bahwa: “Hasil kerja dalam penjualan masih diukur terutama dari volume penjualan yang dihasilkan dan bukan dari laba perusahaan”.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa volume penjualan merupakan hasil total yang didapat perusahaan dari kegiatan penjualan barang dagangan.
Selanjutnya berdasarkan pendapat Swastha dan Irawan (dalam Silviawati, 2010:33) tersebut dapat diketahui bahwa pengukuran volume penjualan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
1.Didasarkan jumlah unit produk yang terjual. Volume penjualan yang diukur berdasarkan unit produk yang terjual, yaitu jumlah unit penjualan nyata perusahaan dalam suatu periode tertentu.
2.Didasarkan pada nilai produk yang terjual (omzet penjualan). Volume penjualan didasarkan pada nilai produk yang terjual (omzet penjualan), yaitu jumlah nilai penjualan nyata perusahaan dalam suatu periode tertentu.

2.1.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Penjualan
Faktor – faktor yang mempengaruhi penjualan menurut Sutojo (1985: 45- 50) yaitu:
1. Faktor intern
Faktor intern adalah faktor yang berasal dari dalam perusahaan. Faktor ini menyangkut kebijaksanaan dan keputusan perusahaan dalam bidang marketing dan faktor lain yang meliputi: kapasitas produk, mutu layanan, modal, jenis produk baru/ lama, pengurus, dan keanggotaan (tenaga kerja).
2. Faktor ekstern
Faktor ekstern adalah faktor yang berasal dari luar perusahaan, yaitu keadaan perekonomian, permintaan konsumen, persaingan, dan kebijakan pemerintah.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi volume penjualan menurut Ridwan Iskandar (2003), (dalam http://ridwaniskandar.files.wordpress.com/2009/05/91-pengertian-penjualan.pdf)
antara lain:

1.Kualitas barang
Turunnya mutu barang dapat mempengaruhi volume penjualan, jika barang yang diperdagangkan mutunya menurun dapat menyebabkan pembelinya yang sudah menjadi pelanggan dapat merasakan kecewa sehingga mereka bisa berpaling kepada barang lain yang mutunya lebih baik.
2.Selera konsumen
Selera konsumen tidaklah tetap dan dapat berubah setiap saat, bilamana selera konsumen terhadap barang-barang yang kita perjualkan berubah maka volume penjualan akan menurun.
3.Servis konsumen
Servis terhadap pelanggan merupakan faktor penting dalam usaha memperlancar penjualan terhadap usaha dimana tingkat persaingan semakin tajam. Dengan adanya servis yang baik terhadap para pelanggan sehingga dapat meningkatkan volume penjualan.
4.Persaingan menurunkan harga jual
Potongan harga dapat diberikan dengan tujuan agar penjualan dan keuntungan perusahaan dapat ditingkatkan dari sebelumnya. Potongan harga tersebut dapat diberikan kepada pihak tertentu dengan syarat-syarat tertentu pula.
5.Modal kerja yang memadai
Dengan tersedianya modal kerja yang memadai dapat memperlancar proses produksi yang nantinya akan berdampak pada peningkatan volume penjualan.
Berkaitan dengan pertumbuhan penjualan, perusahaan harus mempunyai strategi yang tepat agar dapat memenangkan pasar dengan menarik konsumen agar selalu memilih produknya. Untuk itu faktor – faktor yang mempengaruhi penjualan harus benar -benar diperhatikan. Dengan mengetahui faktor – faktor tersebut perusahaan akan dapat menetapkan kebijaksanaan untuk mengantisipasi kondisi tersebut, sehingga perusahaan dapat menjual produk dalam jumlah yang besar dan volume penjualan akan meningkat yang mengakibatkan laba perusahaan akan meningkat pula. Dengan meningkatnya laba perusahaan.

2.1.2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Penjualan
Pertumbuhan penjualan dapat diartikan sebagai perubahan penjualan per tahun. Pertumbuhan penjualan suatu produk sangat tergantung dari daur hidup produk. Menurut Kotler dan Amstrong (1997: 327) ada empat tahap daur hidup produk yang mempengaruhi pertumbuhan penjualan, yaitu:
1.Tahap Introduksi
Tahap ini mulai ketika produk baru pertama kali diluncurkan. Hal ini membutuhkan waktu, dan pertumbuhan penjualan cenderung lambat. Dalam tahap ini kalau dibandingkan dengan tahap – tahap yang lain, perusahaan masih merugi atau berlaba kecil karena penjualan yang lambat dan biaya distribusi serta promosi yang tinggi.



2. Tahap Pertumbuhan
Pada tahap ini pertumbuhan penjualan meningkat dengan cepat, laba meningkat, karena biaya promosi dibagi volume penjualan yang tinggi, dan juga karena biaya produksi per unit turun.
3. Tahap Menjadi Dewasa
Tahap dewasa ini berlangsung lebih lama daripada tahap sebelumnya dan memberikan tantangan kuat bagi manajemen pemasaran. Penurunan pertumbuhan penjualan menyebabkan banyak produsen mempunyai banyak produk untuk dijual.
4. Tahap Penurunan
Penjualan menurun karena berbagai alasan, termasuk kemajuan teknologi, selera konsumen berubah, dan meningkatnya persaingan ketika penjualan dan laba menurun, beberapa perusahaan mundur dari pasar. Perusahaan yang masih bertahan dapat mengurangi macam produk yang ditawarkannya.
Sedangkan menurut Kotler dan Keller (2009:303) empat tahap yang memenuhi pertumbuhan penjualan adalah sebagai berikut:
1.Pengenalan. Periode pertumbuhan penjualan lambat ketika produk diperkenalkan di pasar. Tidak ada laba karena pengeluaran yang besar untuk pengenalan produk.
2.Pertumbuhan. Periode penerimaan pasar yang cepat dan peningkatan laba yang substansial.
3.Kedewasaan. Penurunan pertumbuhan penjualan karena produk telah diterima oleh sebagian besar pembeli potensial. Laba stabil atau turun karena persaingan meningkat.
4.Penurunan. Penjualan memperlihatkan penurunan dan laba terkikis.

Menurut Mohamad Abdul Azis (2005), (dalam httpdigilib.unnes.ac.idgsdlcollectskripsiarchivesHASH0127.dirdoc.pdf) pertumbuhan penjualan dihitung dengan cara menyelisihkan antara total penjualan tahun n dan tahun (n – 1) dengan total penjualan tahun ke (n – 1).





2.1.2.6 Pengaruh Biaya Kualitas terhadap Tingkat Pertumbuhan Penjualan
Biaya kualitas timbul untuk mencegah terjadinya kualitas yang rendah atau biaya yang keluar karena terjadinya kualitas produk yang rendah atau rusak. Biaya kualitas terdiri dari biaya pencegahan, biaya penilaian, biaya kegagalan internal, dan biaya kegagalan eksternal (Fandy Tjiptono & Anastasia Diana 2000 : 36 ). Pada umumnya dengan naiknya biaya pencegahan, biaya kualitas lainnya akan menurun, dikarenakan biaya pencegahan merupakan biaya yang paling besar dikeluarkan guna menghasilkan produk yang berkualitas, dengan dihasilkan produk yang berkualitas maka akan meminimumkan pengeluaran biaya yang berkaitan dengan kegagalan produk baik internal maupun eksternal. Sehingga cara terbaik bagi perusahaan dalam mengeluarkan biaya yang berkaitan dengan kualitas dengan cara menginvestasikan ke dalam tindakan-tindakan pencegahan. Biasanya biaya pencegahan merupakan biaya kebijakan dan sebagian besar merupakan biaya yang efektif untuk memperbaiki kualitas. (Blocher et., al, 2000 : 221).
Dengan melakukan pencegahan yang baik terhadap kualitas yang buruk, diharapkan permasalahan yang berkaitan dengan kualitas dapat berkurang, sehingga semakin sedikit penilaian yang dibutuhkan karena produk dibuat dengan baik pada saat akan dilakukannya atau saat proses produksi berlangsung. Berkurangnya produk cacat yang diproduksi dapat menurunkan biaya kegagalan internal dan biaya kegagalan eksternal seperti menurunkan pengembalian produk, perbaikan dan pengerjaan kembali yang pada akhirnya biaya kualitas pun dapat mengalami penurunan. (Blocher et., al, 2000 : 223).
Melalui penerapan biaya kualitas yang tepat, maka akan terjadi pencapaian kualitas karena produk yang diciptakan memenuhi permintaan konsumen, sehingga meningkatkan kepuasan pelanggan dan dengan kualitas yang tinggi pula menyebabkan perusahaan dapat mengurangi tingkat kesalahan dan pengerjaan kembali produk cacat. Untuk itu akan terjadi penghematan pada biaya produksi. (Blocher, et.al., 2000 : 36)
Pertumbuhan penjualan suatu produk dari perusahaan tergantung dari daur hidup produk. Jika pertumbuhan penjualan per tahun meningkat, maka laba yang diperoleh perusahaan akan meningkat. Kondisi tersebut apa bila perusahaan dapat meningkatkan pangsa pasarnya. Seperti yang telah dikemukakan oleh Fandy Tjipto & Anastasia Diana (2001 : 10) mengemukakan bahwa dengan meningkatkan perbaikan kualitas secara terus menerus maka perusahaan dapat meningkatkan labanya melalui dua rute:
1). Rute Pasar, perusahaan dapat memperbaiki posisi bersaingnya sehingga pangsa pasarnya semakin besar,
2) Perusahaan dapat meningkatkan output yang bebas dari kerusakan melalui perbaikan kualitas.

Dengan demikian biaya kualitas yang akan dikeluarkan perusahaan akan berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan penjualan perusahaan, karena jika kualitas produknya baik maka perusahaan dapat meningkatkan pangsa pasar yang tentunya akan meningkatkan penjualan tersebut.

2.2Kerangka Pemikiran
Kualitas merupakan hal utama yang menyangkut suatu produk, baik barang atau jasa. Sejauh mana suatu produk dapat memberikan kebutuhan kepada konsumen yang di ukur dengan kualitasnya. Masalah kualitas muncul ketika konsumen atau pemakai tidak mendapatkan fungsi dan kegunaan sebagai kebutuhan dalam produk yang dihasilkan. Perusahaan menyadari strategi yang dipicu dalam peningkatan kualitas dapat meningkatkan pangsa pasar yang signifikan, meningkatkan penjualan, dan kemakmuran jangka panjang.
Oleh karena itu setiap perusahaan dalam memproduksi suatu produk haruslah memperhatikan kualitasnya sesuai dengan kebutuhan konsumen dan dilaksanakan secara efisien. Dimana kualitas produk dan jasa adalah masalah yang berkaitan dengan atribut produk yang perlu diperbaiki atau bagaimana dengan menyingkirkan yang atributnya menyimpang dari atribut yang diinginkan dari produk yang baik yang atributnya memenuhi syarat. (Mulyadi, 2000 : 44).
Sedangkan Hansen & Mowen (2000 : 6) yang diterjemahkan oleh Ancella A. Hermawan, mengemukakan bahwa: “Kualitas produk dan jasa adalah sesuatu yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan”.
Dengan demikian kualitas merupakan ukuran relatif kebaikan suatu produk, produk berkualitas adalah produk yang dapat mempengaruhi harapan pelanggan.
Menurut Sulastri Ningsih dan Zulkifli (1997 : 65 ) suatu produk dikatakan memiliki kualitas apabila memenuhi dua kriteria berikut yaitu:
(1) Kualitas Desain (design quality) merupakan fungsi spesifikasi produk, kualitas desain mengukur sejauh mana karakteristik atau jasa dapat memenuhi keinginan kebutuhan konsumen,
(2) Kualitas Kesesuaian (conformance quality) merupakan ukuran seberapa jauh suatu produk memenuhi persyaratan atau spesifikasi kualitas yang telah ditetapkan.

Kualitas selalu berfokus kepada pelanggan artinya suatu produk akan dikatakan berkualitas apabila produk tersebut sesuai dengan harapan pelanggan, dapat dimanfaatkan dengan baik dan diproduksi dengan cara yang baik pula atau sesuai denga spesifikasinya.
Peningkatan kualitas merupakan suatu hal yang penting bagi suatu perusahaan, karena dengan adanya kemampuan perusahaan memberikan produk yang berkualitas dan dapat memberikan kepuasan pada konsumen yang membeli produknya, maka akan berpengaruh kepada peningkatan penjualan yang akan mendatangkan pendapatan pada perusahaan sehingga perusahaan akan mencapai keuntungan yang maksimal.
Manajemen mempunyai kewajiban yaitu perencanaan, pengendalian, dan pengambilan keputusan. Salah satunya tentang mutu produk yang dihasilkan perusahaan. Untuk itu manajemen perlu memahami tentang biaya kualitas yang peranannya sebagai penunjang dalam menghasilkan produk yang berkualitas. Dimana biaya kualitas itu sendiri adalah biaya-biaya yang berkaitan dengan pencegahan, pengidentifikasian, perbaikan dan pembetulan produk cacat dengan opportunity cost dari hilangnya waktu produksi dan penjualan sebagai akibat rendahnya kualitas. (Blocher, et., al, 2000 : 220)
Dengan demikian biaya kualitas tidak hanya meliputi biaya yang dikeluarkan untuk menjalankan kegiatan pengendalian atas produk yang dihasilkan. Akan tetapi termasuk juga biaya yang timbul karena terjadinya produk-produk yang gagal memenuhi spesifikasi yang telah ditetapkan. Biaya pencegahan dan biaya penilaian termasuk biaya pengendalian kualitas, sedangkan biaya kegagalan internal dan biaya kegagalan eksternal termasuk kepada biaya kegagalan produk dalam memenuhi spesifikasinya.
Dari dua kegiatan yang terkait dengan mutu Blocher. et, al., yang di terjemahkan oleh A. Susty Ambarriani (2000 : 220) biaya kualitas dibagi dalam empat komponen yaitu: (1) Biaya pencegahan, (2) Biaya penilaian, (3) Biaya kegagalan internal, (4) Biaya kegagalan eksternal.
Biaya pencegahan biasanya biaya yang paling mudah dikendalikan oleh manajemen di antara empat komponen biaya kualitas. Biaya kegagalan internal dan biaya kegagalan eksternal merupakan biaya kualitas yang termahal, khususnya biaya kegagalan eksternal karena hilangnya pangsa pasar atau penjualan yang hilang karena produk yang tidak memuaskan. Pencegahan yang lebih baik terhadap kualitas yang buruk, akan menurunkan semua biaya kualitas. Semakin sedikit biaya yang berkaitan dengan kualitas, maka semakin sedikit penilaian yang dibutuhkan karena produk dibuat dengan baik pada saat produksi dilakukan. Semakin sedikit unit yang cacat juga menurunkan biaya kegagalan internal dan biaya kegagalan eksternal seperti perbaikan, pengerjaan kembali dan menurunkan pengembalian produk.
Dengan mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk pencegahan, perusahaan semakin sedikit mengeluarkan biaya yang berkaitan dengan biaya kegagalan internal dan eksternal. Penghematannya sendiri bisa menjadi lebih besar sekali, pada akhirnya terjadi penurunan yang sangat besar dalam biaya kualitas dan kualitas produk akan meningkat. (Blocher. et, al., 2000 : 223).
Untuk dapat menghasilkan produk yang berkualitas memang memerlukan biaya yang tidak sedikit terutama biaya pencegahan, karena biaya kualitas ini memang cukup mahal, tetapi lebih sedikit bila dibandingkan dengan kerugian yang timbul karena rendahnya kualitas produk. Dengan dihasilkan produk yang berkualitas, maka perusahaan dapat bersaing dengan perusahaan lainnya dan tentunya dengan harga yang kompetitif.
Menurut M. Tribus (1999 : 69) untuk dapat mengikuti persaingan global bisnis, perusahaan harus mempunyai kemampuan sebagai berikut :
(1) Mengerti apa yang diinginkan konsumen dan berusaha untuk memenuhinya pada tingkat biaya yang lebih rendah,
(2) Menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan konsumen dengan kualitas yang tinggi dan reabilitas yang konsisten,
(3) Senantiasa mengikuti pengembangan teknologi, politik dan sosial yang terjadi dilingkungan perusahaan,
(4) Dapat memprediksikan apa yang diinginkan konsumen bahkan sampai dekade sepuluh tahun mendatang.

Dengan adanya teknik pengendalian biaya kualitas tersebut maka akan mempermudah perusahaan dalam menentukan besarnya kerugian yang diderita oleh perusahaan apabila terdapat produk yang dihasilkan menyimpang dari nilai targetnya. Tentu saja hal ini membutuhkan komitmen perusahaan dalam menerapkan quality control sehingga dalam jangka panjang akan memberikan keuntungan maksimal bagi perusahaan.
Indikator-indikator biaya kualitas di atas merupakan suatu bentuk pengorbanan biaya yang difokuskan pada peningkatan kualitas untuk meningkatkan penjualan, karena agar tercapainya tujuan perusahaan yakni memperoleh laba, perusahaan mengandalkan kegiatan dalam bentuk penjualan, karena penjualan merupakan sumber hidup suatu perusahaan, dengan terjadinya transaksi penjualan dapat diperoleh laba serta suatu usaha memikat konsumen yang diusahakan untuk mengetahui daya tarik mereka sehingga dapat mengetahui hasil produk yang dihasilkan. Dengan demikian, semakin meningkatnya penjualan semakin besar pula laba yang diperoleh perusahaan dan semakin meningkatnya kualitas suatu produk yang sesuai dengan keinginan konsumen maka secara tidak langsung akan meningkatkan penjualan.
Setiap perusahaan pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin memperoleh keuntungan yang semakin meningkat dan menjaga kelangsungan hidup perusahaannya. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut perusahaan mengandalkan kegiatannya dalam bentuk penjualan. Semakin besar voleme penjualan maka semakin meningkatnya keuntungan yang didapatkan perusahaan.
Menurut Joel G. Siegel dan joe K. Shim yang diterjemahkan oleh Moh. Kurdi (dalam http://www.scribd.com/doc/11319639/Pengertian-Penjualan), “Penjualan adalah penerimaan yang diperoleh dari pengiriman barang dagangan atau dari penyerahan pelayanan dalam bursa sebagai barang pertimbangan. Pertimbangan ini dapat dalam bentuk tunai harta peralatan kas atau harta lainnya. Pendapatan dapat diperoleh pada saat penjualan, karena pertukaran, harga jual dapat ditetapkan dan bebannya diketahui”.
Volume penjualan dapat dijabarkan sebagai umpan balik dari kegiatan pemasaran yang dilaksanakan oleh perusahaan. Adapun pengertian volume penjualan adalah merupakan jumlah total yang dihasilkan dari kegiatan penjualan barang dagangan (Freddy Rangkuti, 2009:204).
Volume penjualan yaitu jumlah nilai penjualan nyata perusahaan dalam suatu periode tertentu. Volume penjualan tersebut didasarkan pada nilai produk yang terjual / omzet penjualan Swastha dan Irawan, (dalam Silviawati, 2010).
Atau juga volume penjualan merupakan jumlah barang dan jasa yang terjual berdasarkan data kuantitatif pada periode tertentu (Fandi Tjiptono, 1995:254).
Pengukuran volume penjualan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pengukuran produk berdasarkan unit produk yang terjual dan didasarkan pada nilai produk yang terjual (omzet penjualan). Dalam penelitian ini pengukuran volume penjualan didasarkan pada nilai produk yang terjual (omzet penjualan).
Pertumbuhan penjualan dapat diartikan sebagai perubahan penjualan per tahun. Pertumbuhan penjualan suatu produk sangat tergantung dari daur hidup produk. Menurut Kotler dan Amstrong (1997: 327) ada empat tahap daur hidup produk yang mempengaruhi pertumbuhan penjualan, yaitu: 1) Tahap Introduksi, 2) Tahap Pertumbuhan, 3) Tahap Menjadi Dewasa, 4) Tahap Penurunan.
Penjualan menurun karena berbagai alasan, termasuk kemajuan teknologi, selera konsumen berubah, dan meningkatnya persaingan ketika penjualan dan laba menurun, beberapa perusahaan mundur dari pasar. Perusahaan yang masih bertahan dapat mengurangi macam produk yang ditawarkannya. .
Biaya kualitas bertujuan dimana pengorbanan yang dikeluarkan oleh perusahaan bergerak kearah yang positif dengan indikasi dimana produk yang dihasilkan adalah produk yang berkualitas yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen dan kepuasan konsumen dapat terpenuhi. Karena dengan dihasilkannya kualitas produk yang sesuai dengan keinginan pelanggan atau konsumen, secara tidak langsung akan membuat konsemen atau pelanggan tersebut merasa puas, karena manfaat yang diberikan produk tersebut sesuai dengan keinginan pelanggan atau konsumen. Dengan dihasilkannya produk yang berkualitas yang sesuai dengan spesifikasi standar yang telah ditentukan perusahaan yang sesuai dengan keinginan konsume, yang nantenya akan berdampak pada peningkatan volume penjualan. Apabila produk yang dihasilkan tidak sesuai dengan spesifikasi standar yang telah ditentukan maka dipastikan selain akan mengeluatkan biaya untuk melakukan perbaikan terhadap kualitas produk tersebut, secara perlahan pelanggan akan melirik pada produk lain yang dapat memberikan manfaat dan kepuasan. Maka pangsa pasar akan menurun yang berakibat pada penurunan volume penjualan dan hal ini akan dapat merugikan perusahaan.
Dengan melakukan perbaikan kualitas secara terus menerus maka :1) perusahaan dapat memperbaiki posisi persaingannya sehingga pangsa pasarnya semakin besar, 2) Perusahaan dapat meningkatkan output yang bebas dari kerusakan melalui upaya perbaikan kualitas. (Fandy Tjiptono & Anastasia Diana, 2001: 10). Dengan demikian diharapkan perusahaan akan dapat meningkatkan penjualan, yang mencerminkan pencapaian tujuan perusahaan untuk menghasilkan laba yang besar.
Dari grand theory tersebut dibuat paradigma penelitian sebagai berikut :







2.3 Hipotesis
Menurut Sugiyono (2002:51) mengemukakan bahwa: “Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang masih harus dibuktikan kebenarannya”. Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta – fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data.
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini dapat dinyatakan sebagai berikut :
“Bahwa Biaya Kualitas Berpengaruh Signifikan terhadap Tingkat Pertumbuhan Penjualan.”